Search

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Rabu, 10 Juni 2009

Sikap Positif

Belajar merupakan aktivitas multi inderawi. Ada faktor emosi yang berperan besar di dalamnya. Bahkan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan belajar yang cukup besar.
Diawal, anak dikondisikan untuk merasa aman dan nyaman. Kondisi ini merupakan syarat terciptanya kemampuan belajar yang optimal. Anak tidak takut mengungkapkan rasa ingin tahunya, berani mencoba hal-hal baru tanpa ada beban takut salah, bertanya saat tidak tahu, dan berpendapat dengan penuh pertimbangan.
Apa yang orang perlukan ketika ragu-ragu? Sebenarnya tidak ada yang paling efektif menolongnya kecuali dirinya sendiri. Yang dapat menolongnya adalah keyakinan. Keyakinan bahwa apapun pilihannya, itu adalah sebuah keputusan yang harus diambil. Dengan demikian ia siap menerima apapun risikonya.
Keyakinan pulalah yang menjadi bahan bakar untuk bertahan dan mencapai kesuksesan. Banyak cerita sukses lahir dari sebuah keyakinan. Seorang atlet harus menerima kenyataan, 4 bulan menjelang olimpiade mendapat cedera saat latihan. Oleh dokter dinyatakan tidak akan pulih dalam waktu dekat. Pokoknya, peluang untuk ikut olimpiade sangat kecil, kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Lalu apa yang ia lakukan? Saat terbaring menunggu pulih dari cidera, ia selalu membayangkan dirinya sedang latihan di lintasan lari. Hal ini dilakukannya dengan penuh keyakinan bahwa ia tetap bisa menjaga kondisi dan meningkatkan kemampuaannya. Hasilnya? Iapun bisa ikut olimpiade dan memperoleh emas!
Tapi ini juga bukan berarti keyakinan adalah segala-galanya. Keyakinan akan menjadi faktor penentu kalau sebelumnya sudah ada bekal yang cukup. Sekali lagi, keyakinan adalah bahan bakar, yang tentu saja tidak berarti apa-apa kalau mesinnya tidak ada atau tidak kompatibel dalam usaha mencapai kesuksesan.
Saya akan membawa hal ini ke wilayah pembelajaran di sekolah. Adalah sangat penting menumbuhkan keyakinan pada anak. Yakin bahwa dirinya bisa, yakin bahwa apa yang akan dilakukan aman, yakin tidak akan dipermalukan, ditertawakan, atau dikatakan bodoh, yakin bahwa seluruh lingkungan akan mendukungnya.
Keyakinan ini akan menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan percaya diri. Ketiga keadaan emosi inilah yang mendukung optimalnya proses belajar. Jadi merupakan suatu keharusan bagi seorang guru membuat anak merasa aman dan nyaman, serta menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Apa yang harusnya dilakukan seorang guru kalau ada seorang anak sedang mendapatkan masalah dalam menyelesaikan tugasnya? Misalnya belum memahami apa yang harus dikerjakan. Apakah guru akan memarahinya, atau mengatakan bahwa ia bodoh? Atau apakah seorang guru selalu memberikan instruksi dan teguran sepanjang waktu belajar sehingga anak merasa diperlakukan sebagai anak yang tidak paham? Atau mungkin guru selalu mengancam dengan berbagai hal dan membanding-bandingkan anak?
Semua tindakan tadi membuat suasana belajar tidak nyaman. Ada perasaan tertekan, takut, dan direndahkan. So, perasaan-perasaan itu mengikuti proses belajar. Akibatnya tentu saja anak harus bertarung dengan perasaan-perasaan negatif tersebut. Ini tentu saja mempengaruhi kualitas belajarnya. Belajar tidak menjadi tempat yang menyenangkan.
Di sisi lain, keyakinan harus selalu dipompakan pada diri anak. Cari dan nyatakan kemampuan anak secara lugas. Beri kesempatan kepada anak untuk menunjukkan kemampuannya, dalam bidang apapun. Sebaiknya guru tidak banyak bicara sehingga anak mempunyai kesempatan untuk tampil. Kritik juga tidak diberikan saat anak sedang bekerja.

Sabtu, 25 April 2009

Mana yang Kita Pilih?

Lebih baik mengetahui kemana kamu akan pergi, daripada sampai disana dengan cepat. - Mable Newcomber -

Ya, kita memang harus tahu kemana kita akan melangkah. Arah yang kita tuju sudah jelas. Betapa sia-sianya kalau kita gesit bergerak kemana kemari, berlari cepat kesana dan kesini, tapi kita nggak punya tujuan akhir. Apa sebenarnya yang dicari? Cape bukan main yang akan kita dapati.

Saya jadi teringat cerita ini, entah darimana saya mendapatkannya. Ceritanya begini.... Di sebuah hutan tropis pada suatu siang tampak dua ekor tupai, sebut saja Kiki dan Koko sedang menikmati makan siangnya. Di tengah asyiknya menikmati santapannya, mereka dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak-gerak di semak belukar. Sejenak Koko dan Kiki menghentikan makannya, memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. Menunggu apa yang akan keluar dari semak-semak.

“Ada yang mau ikut paket wisata jalan-jalan di hutan bersamaku?” tanya kura-kura yang muncul dari semak-semak. “Kalian cukup memberiku beberapa helai daun muda saja.” Koko dan Kiki berpandangan. Keduanya diam, nggak tahu harus menjawab apa. Jalan-jalan di hutan? Kan setiap hari juga ada di hutan. Bareng kura-kura? Kan jalannya lambat, pasti akan lama dan membosankan. Ah, nggak rame! Itulah yang sedang dipikirkan kedua tupai itu.

Sebenarnya tanpa harus ikut paket wisata, Koko dan Kiki bersedia mengambilkan beberapa daun muda untuk kura-kura. Tentu saja itu bukan hal yang susah bagi mereka. Tapi demi mejaga perasaan kura-kura yang menwarkan jasanya, Koko dan Kiki akhirnya bersedia ikut paket wisata kura-kura.

Perjalanan dimulai. ”Coba lihat, kuncup bunga ini sudah keluar. Indah kan?” kata kura-kura.”Sebentar lagi pasti akan mekar.” Kuncup bunga? Emang indah, sih. Tapi Koko dan Kiki kan sudah sangat biasa melihat bermacam-macam bunag yang indah di hutan. ”Oh, iya. Indha sekali” Koko dan Kiki pura-pura kagum.

”Nah, sekarang bunganya sudah mekar.” kata kura-kura. Ya, benar bunga itu kini sudah mekar. Bunga mekar tentu saja bukan barang aneh bagi Koko dan Kiki, mereka setiap hari melihat keindahannya. Tapi kali ini beda. Lebih indah, mengapa? Karena mereka bisa memperhatikan perubahan dari bunga yang masih kuncup menjadi bunga yang mekar. Sungguh luar biasa, baru sekali ini mereka mengalaminya. Sebelumnya bunga mekar merupakan hal yang biasa karena mereka melihat selintas dan menikmati hasilnya saja, yaitu bunga yang mekar. Ternyata ada yang lebih mengagumkan dari keindahan bunga yang mekar.

Perjalanan selanjutnya juga sangat berkesan. Koko dan Kiki benar-benar menikmatinya. Mengamati barisan semut, tikus yang membuat lobang, dan lainnya. Hingga akhirnya selesailah wisata tersebut.

Ini yang sering kita lupakan. Dengan beragam alasan dan tuntutan, kita hanya membelajarkan fenomena. Seperti halnya Koko dan Kiki, kita selalu melihat pada hasil. Bunga itu mekar dan indah, ini adalah hasil. Selalu yang kita perhatikan adalah hal tersebut. Karena kita ingin materi pembelajaran cepat selesai. Yang penting faktanya sudah dikasih tahu ke anak, anak bisa menjadi soal ulangan atau ujian. Beres.

Ya, benar. Bereslah semua urusan, karena kita sudah tidak peduli pada proses. Yang penting kita nyampe. Materi sudah selesai. Seperti kata Newcomber, buat apa kita sampai di suatu tempat kalau kita tidak tahu buat apa kita ada di sana?

Sudah bukan saatnya lagi kita mengedepankan ’apa’nya. Jauh lebih penting kita mengajarkan ’bagaimana’. Pilihannya adalah memberikan banyak hal tapi kurang berarti, atau memberikan lebih sedkit hal tapi banyak arti? Semua terserah anda.

Belajar Bahasa


Menjadi guru bahasa Indonesia menjadi pengalaman yang penuh dengan keprihatinan. Bukan prihatin pada kemampuan berbahasa anak-anak. Mereka mampu menggunakan bahasa dengan tepat. Ya, TEPAT. Bukan ’baik dan benar’. Bukan prihatin karena kurang fasilitas, tidak ada sarana dan prasarana audio visual yang representatif.

Saya prihatin ketika membuka buku paket pelajaran bahasa Indonesia. Ketika saya dengan sengaja ingin tahu beberapa buku dari penerbit yang berbeda, saat itu pula keprihatinan saya bertambah. Sewaktu tahu bagaimana soal-soal ujian, saya bukan hanya prihatin. Saya sedih. Bingung, apa sebenarnya tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia?

Bahasa alat cara berkomunikasi. Yang namanya cara tentu saja bukan hanya satu jumlahnya, tetapi sangat banyak. Cara berkomunikasi dengan orang tua tentu saja akan berbeda dengan cara berkomunikasi sesama teman. Cara berkomunikasi juga menunjukkan tingkat keakraban, kepribadian, bahkan emosi seseorang.

Sayangnya, dalam pelajaran Bahasa Indonesia cara berkomunikasi yang diajarkan adalah komunikasi formal yang kaku. Bahasa-bahasa baku yang boleh dipakai. Silahkan bertanya pada diri sendiri, berapa persen bahasa baku yang kita pakai dalam sehari? Berapa lama waktu yang kita pakai untuk berbahas secara formal?

Saya tidak menentang jika bahasa yang baku, formal diajarkan di sekolah-sekolah. Saya setuju karena itu juga diperlukan. Pertanyaan saya adalah apakah hanya itu yang diajarkan? Bukankah kenyataanya kita lebih banyak menggunakan bahasa yang tidak formal?

Bahkan menurut saya pada tahap pertama pembelajaran bahasa yang diajarkan adalah cara berkomunikasi yang efektif. Komunikasi akan efektif kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa yang biasa dipakai. Nah, tentu saja bahasa anak bukan bahasa formal. Coba saja Anda berkomunikasi dengan anak Anda memakai bahasa formal, apa yang akan anak Anda katakan?

Sekarang mari kita lihat buku pelajaran Bahasa Indonesia, adakah yang isinya bagaimana memilih bahasa yang tepat? Ada juga memilih kata yang tepat. Bahasa yang tepat berbeda dengan kata yang tepat. Memilih bahasa berarti memilih gaya bahasa, gaya berkomunikasi. Yang menjadi pertimbangan adalah dengan siapa dan dalam situasi apa. Sedangkan memilih kata dilakukan agar inti pesan tertangkap dan tepat sasaran. Pertimbangan yang dipakai adalah kata apa yang lebih pas, mewakili, dan sebagainya.

Alih-alih membelajarkan cara berkomunikasi yang tepat, pembelajaran bahasa dibawa jauh meninggalkan tujuan-tujuannya. Guru bahasa Indonesia lebih banyak memberikan porsi untuk mengajari struktur. Alasannya sederhana, karena bagian itu yang paling susah dan sering keluar dalam ujian. Mungkin alasan yang logis, tidak salah. Mengapa struktur harus ditanyakan dalam ujian?

Pernahkah kita dalam berkomunikasi memikirkan subjek, predikat,objek, atau keterangan? Apakah kita akan menggunakan kalimat tunggal atau kalimat majemuk? Apakah kalimat majemuk setara atau bertingkat? Mana induk kalimat? Mana anak kalimat? Ketika kita mau ngomong, apakah hal-hal itu yang kita pikirkan?

Saya kok berani menjawab; TIDAK! Ketika kita berbicara, yang kita pikirkan adalah kepada siapa kita berbicara, kapan. Nah, sekarang buat apa kita membuat bingung anak-anak dengan aturan struktur bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah kita ingin mereka akan memikirkan jenis kalimat majemuk apa yang dipakainya, kalimat pasif atau aktif, atau kita ingin mereka menggunakan ragam bahasa sesuai dengan konteks, sesuai dengan situasinya? Saya yakin ketika anda menjawab pertanyaan ini tidak memikirkan apakah kalimat yang anda pakai itu kalamat majemuk atau kalimat tunggal, yang mana anak kalimat atau induk kalimatnya. Bahkan andapun tidak akan memikirkan kalimat anda berpola S – P – O – K atau pola yang lain. Apa yang kita pikirkan? Kita berpikir bagaiman menjawab dengan bahasa yang sesuai, dengan kata yang tepat. Kalau yang bertanya adalah presiden, tentu saja cara menjawab anda berbeda dibanding bila yang bertanya adalah saya.

Inilah inti keprihatinan saya. Anak belajar bertahun-tahun, namun selama itu mereka lebih banyak mempelajari sesuatu yang jauh, bahkan kurang bermanfaat. Kadang diajari sesuatu yang sangat sulit, tapi dalam praktek tidak pernah dipakai, semisal belajar struktur bahasa. Mempelajari struktur bahasa tentu saja perlu. Menurut saya struktur itu digunakan untuk membantu menata susunan kata. Struktur bukan formula yang tidak bisa diganti. Struktur bukan pola untuk dihafal. Kalau terbiasa berkomunikasi, susunan kata juga akan menjadi semakin tertata, tanpa belajar struktur sekalipun.

Sebagai bagian ilmu bahasa, struktur lebih pas dipelajari oleh ahli tata bahasa, bukan oleh anak sekolah. Apalagi masih di tingkat-tingkat awal. Tidak perlu khawatir bahasa Indonesia akan rusak, kehilangan jati diri. Belajar bahasa, seperti belajar hal lain, lebih baik bila dilakukan secara alami. Kita ajak anak untuk mengenal bagaimana cara berkomunikasi dengan berbagai kalangan dan situasi, bagaimana berkomunikasi dengan beragam tipe orang, dan berkomunuikasi menggunakan berbagai media.

Jadilah Dirimu, Nak. Dengan nama-Nya

Seorang teman guru menyatakan bahwa salah satu yang dia harapkan adalah bisa membuat seseorang bisa mengenal dirinya sendiri. Mengenal diri, bukan tahu nama, asal-usul, dan data diri lainnya. Bukan ’adanya’ tapi ’apanya’. ’ada’ adalah fenomena fisik, yang terlihat. Sedangkan ’apa’ adalah inner space, sesuatu yang berada dalam ruang batin.
Saya tercenung. Mengapa perlu mengenal diri sendiri? Bagaimana cara agar seseorang bisa mengenal dirinya? Apa indikasi mengenal diri sendiri?
Kemudian saya ingat: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” mungkin ini salah satu mengapa manusia harus mengenal dirinya sendiri. Mengenal Tuhan berarti bukanlah biasa-biasa saja. Ini pasti berhubungan dengan sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu yang dahsyat. Hem..., sepertinya mengenal diri sendiri dimulai dengan menemukan keunikan diri sendiri. Mengapa? Dengan mengenal keunikan diri sendiri akan tumbuh rasa syukur yang tak henti. Rasa syukur inilah yang kemudian akan menggerakkan seluruh kekuatan untuk berbuat kebaikan dan melakukan yang terbaik dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, bersyukur akan membawa diri melihat fenomena-fenomena dari kacamata kekaguman atas sang maha pencipta.
Allah menciptakan semua makhluknya secara unik. Manusia diciptakan berbeda dengan malaikat, tumbuhan ataupun hewan. Tiap jenis makhlukpun diciptakan berbeda. Tidak ada yang sama, sekalipun itu kembar. Jadi fitrah makhluk, termasuk manusia, adalah unik. Berbeda.
Manusia unik karena ada beragam sifat, potensi, bakat, kecerdasan, kebiasaan, dan sebagainya. Disinilah saya menyadari betapa beratnya membelajarkan seorang anak agar kelak ia mampu mengenal dirinya sendiri. Beruntung saya ada kesempatan untuk mempelajari Multiple Intellengeces. Saya harus berterimakasih kepada Howard Gardner. Lewat MI, saya mulai memahami keunikan murid-murid saya. Mata saya terbuka, semua orang adalah juara. Semua anak punya potensi untuk menguasai sesuatu yang sama besar. Jalan dan cara mempelajarinya yang berbeda.
MI, ketika dipraktekkan dalam pembelajaran, ternyata membantu anak mengenal kesukaan, mengenal potensi, memahami emosi dan keinginannya. Dan yang lebih penting, anak bisa mempelajari sesuatu dengan cara yang ia sukai. Tentu saja itu akan membuat senang. Inilah mungkin awal mengenal diri sendiri.
Terlepas dari semua itu, agar anak bisa mengenal diri sendiri apa yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah. Apakah, em...lebih tepat, bagaimana Matematika, Sains, Bahasa, dan Pengetahuan Sosial bisa membuat anak mengenal dirinya? Bukankah materi pelajaran sebagaimana dalam kurikulum adalah hal-hal yang berada di luar diri manusia?
Nampaknya, kalau kita punya motto:’Jadilah dirimu, Nak. Dengan nama-Nya”, kita harus bermain-main dengan kurikulum. Kita dandani sedemikian rupa sehingga pengalaman belajar bisa membuat anak masuk, menyelami, merasakan, merenungi materi pembelajaran. Ketika mempelajari tata surya misalnya, anak bukan hanya menghafal nama-nama planet dan ukurannya, tetapi juga kalau menjadi planet dirinya lebih cocok menjadi planet apa dan mengapa?
Kalau begitu, kita memang harus kembali ke MI. MI menyediakan itu, bahkan lebih. Cukupkah dengan ini saja?
Menjadi diri sendiri butuh nyali. Menjadi diri sendiri berarti berani beda, dengan tidak perlu sengaja membedakan diri. Disinilah butuh keberanian, rasa percaya diri. Ya, kembangkan percaya diri anak. Bangkitkan harga dirinya, dengan cara menghargai anak dan memberi peluang untuk menunjukkan; INI AKU!

Guru Juga Manusia

Guru harus berwibawa. Salah satu cara untuk menjaga wibawa adalah tidak pernah salah. Ya…, bagaimanalah caranya agar anak tidak melihat bahwa sang guru melakukan kesalahan. Sekali lagi, ga apa-apalah ini dilakukan. Kan untuk menjaga wibawa gurur. Apa jadinya kalao guru ketahuan sama muridnya pernah berbuat slah? Kan jadi malu. Bisa-bisa anak jadi ga opercaya lagi sama guru. Gawat ga tuh?

Tapi apakah benar guru ga boleh salah? Apakah iya suatu kesalahan akan membuat wibawa guru akan berkurang? Apakah malu kalau guru ketahuan melakukan kesalahan?

Melakukan kesalahan itu sangat manusiawi. Bahkan manusia kadang harus melakukan kesalahan untuk belajar. Melakukan kesalahan untuk menjadi lebih baik. Bukankah manusia itu tempat salah dan dosa. Jadi wajar dong kalau guru juga punya kesalahan. Mestinya kesalahan itu dijadikan cermin, bukan ditutupin. Ingat suatu saat baunya pasti akan tercium. Apa ga lebih malu tuh?

Kalau guru ga mau terlihat salah, maka ia akan mencari alasan sebagai alibi. ”Bapak, kemarin sangat sibuk.” Menyalahkan keadaan. ” Coba, kalau suami Ibu kemarin tidak telat menjemput, pasti Ibu akan punya banyak waktu di rumah untuk memeriksa tugas kalian.” Menyalahkan orang lain. Pokoknya cari kambing hitam aja. Yang penting berwibawa.

Terpikirkankah apa akibatnya? Anak mendapat pelajaran. Kalau melakukan kesalahan jangan sampai orang lain tahu. Memalukan. Cari alasan dan kambing hitam saja. Pokoknya ga boleh ketahuan salah.

Apa yang dilakukan guru kalau melakukan kesalahan? Katakan dengan jujur tanpa ada pernyataan yang menimbulkan kesan bahwa kesalahan kita karena orang lain. Anak belajar jujur. Setelah itu apa? Minta maaflah. Meminta maaf tidak menjatuhkan wibawa. Justru akan meningkatkan karisma di mata anak-anak. Guruku gentlemen. Anak belajar minta maaf.

Harusnya guru menunjukkan kesalahannya. Juga, apa yang dilakukan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Anak akan melihat bahwa melakukan kesalahan adalah hal biasa, bukan akhir segalanya. Bahwa kesalahan bisa dijadikan pelajaran agar menjadi lebih baik.

Pada akhirnya, anak tidak merasa takut melakukan sesuatu, karena kalau salah ia akan bisa mengambil pelajaran dari kesalahannya. Anak akan berani mencoba, karena kesalahan bukanlah hal memalukan. Inilah awal dari proses pembelajaran aktif. Anak punya rasa ingin tahu, berani mencoba, dan belajar dari kesalahan

Menjadi Model, Modalnya Apa?

Tiap hari selalu saja begini. Sepatu dan sandal berserak tak rapi. Ada yang masih sepasang, ada pula yang tinggal sendirian. Padahal kan rak sudah disediakan?

Ini bukan sekedar mereka, yang sepatunya berserakan itu, adalah anak-anak. Ini merupakan cermin dari budaya. Budaya tak peduli, budaya sak enak udhele dhewe. Kalau aku mau begini, emang kamu mau apa?!

Dalam skala lebih makro, budaya berserakan ini dapat kita jumpai dimana-mana. Semua serba bergerak tak teratur.Lihat saja di jalan raya. Ketidakteraturan sudah menjadi sesuatu yang teratur. Mengapa? Karena semua sistem di jalan raya, baik pengguna, aparat, dan perangkat, berjalan sesuai dengan keinginan sendiri. Berjalan mengikuti ego. Berjalan menatap lurus ke depan, tak peduli samping kini-kanan.

Lah, kalo sudah begitu yang terjadi tentu saja pelanggaran. Si pelanggar bisa saja kepergok sama penegak hukum. Hebatnya, entah si pelanggar yang cari teman agar tak atau penegak hukum yang begitu baik sehingga mau bersama-sama menjadi pelanggar. Benang kusut ini terus saja bergulir, menjadi bola yang semakin lama kian membesar dan terlalu capek untuk diurai. Dan ini kemudian menjadi sistem baru yang struktural. Pelanggaran menjadi biasa, bahkan legal. Nah, kalau sudah begini ketidakteraturan menjadi sesuatu yang teratur bukan?

Udah, ah. Terlalu panjang banget kalu dibahas terus. Kembali ke sepatu yang berserakan. Itu, tuh di SIGM. Ga adil banget deh kalo semata menyalahkan anak. Bukankah mereka itu peniru yang ulung? Mereka melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lihat. Siapa yang mereka lihat, tiru? Ya, kita-kita ini. Orang dewasa disekitar mereka.

Memang kita ini sangat hebat. Kita begitu menghargai waktu. Waktu adalah uang. Bahkan waktu adalah pedang! Ya, sehingga waktu sedetik pun begitu berharga. Bisa-bisa uang melayang, atau pedang akan mengakhiri hidup jika waktu terbuang. Jadi, buat apa cape-cape merapikan sepatu? Buang waktu saja, tidak efektif! Tidak bernilai ekonomis!

Tapi, bener gitu kita begitu menghargai waktu? Bukankah kita begitu fleksibel, sehingga soal waktupun bisa begitu elastis. Jam karet sudah jadi budaya. Institusi mana yang begitu peduli soal tepat waktu? Memang ada, tapi berapa banyak?

Lihat saat kinerja bangsa ini. Mana yang menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Memang semua menghabiskan waktu. Produktifkah? Jangan tanya dulu produktif apa ga. Waktu dilalui supaya jam kerja cepat habis, terus pulang. Begitu tiap hari, tiap bulan. Lalu gajian, begitu lagi sampai gajian berikutnya. Mau gapleh, ngobrol, main catur, ato makan siangnya di sebuah kafe di suatu mall, dengan belanja tentu saja, ngga pa-pa. Yang penting gaji tetap dibayar. Betul?

Nah, kalo gitu apakah namanya ini bukan musang berbulu domba, atau kita memang bermuka dua? Terlalu munafik kalo merapikan sepatu kita hubungkan dengan menghemat waktu. Berapa lama sih menyusun sepatu supaya rapi?

Dari sisi lain, kita ini sudah begitu terbiasa menghargai sesuatu yang berada di atas, kita begitu hormat. Sebaliknya, yang dibawah kita hampir, bahkan tidak peduli. Nah sepatu kan tempatnya dibawah. Yang namanya di bawah di negeri ini ga pernah dapat tempat. Selalu dipinggirkan dan terusir. Diinjak-injak dan ga perlu banget untuk dipedulikan. Lebih menyedihkan lagi selalu dianggap pengganggu keindahan.

Begitu juga sepatu-sepatu malang. Mereka ga dipedulikan. Dibiarkan berserakan. Dinjak-injak orang lain, selalu digusur, bahkan saling terpisah. Berserakan, kotor karena terinjak, sepatupun dianggap perusak keindahan. Betapa tak adilnya kita ini.

Jadi menurut saya sepatu yang berserakan itu bukan hal yang sepele. Ada pembelajaran yang begitu hebat. Yuk, kita bayangkan memperbaiki negeri ini dengan langkah awal memperlakukan sepatu secara lebih smooth dan smart. Bukan hanya masalah kerapihan dan keindahan. Ini bisa menjadi terapi bagi kita untuk peduli pada hal-hal kecil, masalah kecil, orang-orang kecil. Kita bisa belajar menghargai orang lain, membiasakan diri menjadi teratur. Menghilangkan budaya saling menggusur dan tak peduli.

Kembali ke sepatu yang berserakan di SIGM. Sebagai model yang selalu ditiru, kitalah yang mempelopori untuk menyusun sepatu. Disiplin tentu saja kunci suksesnya. Jangan berharap ada perbaikan kalo kita sendiri tidak berusaha untuk berubah. Jangan malah kita ikutan-ikutan naruh sepatu dimana saja, dengan alasan ya udah begitu, mau apalagi? Kalau memang seperti itu, benar sekali mau apalagi? Jangan pernah bermimpi memperbaiki negeri ini.

Bahasa Indonesia, Ge to loh....

Luar biasa dampak dari kegiatan menulis yang baru aku coba mulai ini. Semangatku menyala-nyala. Di sekolah tadi aku sempat membuat tulisan walaupun belum selesai. Seiring dengan itu kegemaran membaca buku juga tumbuh lagi.
Aku ingin menularkan semangat ini kepada anak-anak. Bahkan sebenarnya sudah terjadi. Mereka bisa menulis dengan bebas. Hasilnya cukup membuatku tersenyum. Ah, kenapa ga dari dulu saja. Peneyesalan memang selalu datang terlambat. Tapi ga ada kata terlambat bukan?
Kurasa jalan yang coba aku bentangkan sudah lurus. Anak-anak terlihat lebih akrab dengan buku. Ada yang pinjem, ada juga yang beli. Semua itu membuat aku semakin enjoy sebagi guru bahasa Indonesia. Aku sudah ga peduli dengan bagaimana tipe soal ujian dan sejenisnya. Memberi kesempatan untuk bermain-main dengan bahasa, berimajinasi dan menampilkan kreativitas adalah yang sedang aku lakukan saat ini.
Menurutku ini penting. Bahasa adalah alat komunikasi, bukan rumus, yang akan selalu berkembang. Kaidah-kaidah didalamnya juga akan berubah. Ini adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian, anak juga harus mengenal bahwa ada perubahan-perubahan dalam nilai berbahasa.
Selain itu, sebagi alat komunikasi, bahasa harus digunakan secara kontekstual. Inilah yang tidak akan pernah ditemukan dalam buku paket. Misalnya saja untuk materi membuat undangan. Bentuk yang formal dan kaku pasti menjadi contohnya. Padahal mereka adalah anak-anak. Berbahasa dengan bahasa anak-anak. Bukankah seharusnya mereka diajak berkomunikasi dan melakukan komunikasi dengan bahasa mereka?
Bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang membosankan, karena yang diajarkan adalah kaidah-kaidah, struktur, aturan-aturan. Coba kita bayangkan, semuanya tadi memberikan pagar, membuat garis-garis yang ga boleh dilanggar. Kalau sudah begitu, ya tentu saja (pelajaran) bahasa (indonesia) tidak bisa dijadikan saluran untuk berekspresi. Rigrid.
Sesuai fungsinya, marilah kita kembali pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan konteksnya. Jangan larang anak untuk menggunakan bahasa gaul, prokem, slang dan sebagainya. Itu adalah salah satu bentuk kreativitas berbahasa. Saya pikir kita ga perlu khawatir hal tersebut akan merusak bahasa. Sekali lagi mari kita dudukkan sesuai konteksnya. Kalau bahasa gaul, prokem, slang digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama penggunanya mengapa harus dilarang? Kalau bahasa-bahasa itu digunakan untuk ungkapan ekspresi, sebagai salah satu bentuk ekspresi kenapa tidak boleh?
Berbeda halnya kalau bahasa-bahasa yang disebutkan tadi digunakan untuk situasi yang formal, tentu saja harus disalahkan. Tapi inget,ya dalam keseharian kita-kita ini, lebih banyak situasi formal atau tidak? Supaya lebih menyelami, ayo kita coba dalam sehari berbicara secara formal sesuai dengan aturan berbahasa yang baik dan benar. Kebayang, kan bagaimana rasanya?
Nah, kalau kenyataannya kita lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa yang ga formal, mengapa kita hanya membelajarkan atau lebih banyak membelajarkan bahasa yang baik dan benar, yang formal? Tanya mengapa, kata iklan,mah.