Search

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 25 Januari 2011

SUDAHKAH KITA MELAKUKAN YANG BENAR?

Ah, terus terang saya tidak tahu, apakah kita sudah melakukan sesuatu yang benar? Delapan tahun menjadi guru, apa yang saya hasilkan? Bagaimana dengan Anda? Apakah seperti saya? Saya berharap jangan.
Sebagai guru saya tentu saja mengajar. Ya, pasti dong. Itu kan tugas saya. Berarti saya sudah melakukan hal yang benar. Ya, memang benar saya mengajar. Saya sangat yakin Anda pun sudah melakukannya. Apakah saya mengajar dengan benar? Wah, saya sendiri tidak berani menjawabnya. Apakah Anda sudah mengajar dengan benar? Semoga saja.
Tetapi ingatlah Saudara-saudara, kita selama ini sering terjebak pada mengajar. Ingatlah Saudara-saudara bahwa kita seharusnya membelajarkan! Maafkan, sebenarnya kalimat-kalimat itu lebih tepat untuk saya sendiri.
Nah, di titik inilah kita mulai bimbang. Sudahkah kita melakukan sesuatu yang benar? Apakah kita mengajar karena tugas? Sebagai sebuah rutinitas? Dirasakan sebagai beban? Apakah karena sudah membuat RPP, menyiapkan lembar kerja, mengobservasi setiap anak selama beraktivitas, membuat aktivitas belajar yang menyenangkan, membuat penilaian, dan menyampaikan laporan berarti sudah melakukan hal yang benar?
Bukankah semua itu tugas mulia seorang guru? Betul, tapi semua hal tadi baru dalam tataran mengajar, belum membelajarkan. Guru akan lebih mulia kalau mampu membelajarkan. Dan ini yang seharusnya dilakukan semua guru. Jadi bolehlah saya bertanya lagi, sudahkah kita melakukan hal yang benar?
Tentu saja ada definisi dan semangat yang berbeda dalam aktivitas mengajar dan membelajarkan. Mengajar itu aktivitas searah. Mengajar berarti memberitahu, mentransfer pengetahuan. Artinya anak pasif. Sehebat dan semenyenangkan apa pun kalau sekedar memberikan apa yang kita ketahui kepada anak, tetap saja disebut mengajar.
Sedangkan membelajarkan mengandung spirit pemberdayaan. Yang dilakukan guru adalah membuat usaha agar anak mampu mengajari dirinya sendiri. Tentu saja ada usaha membangun kesadaran diri. Anak diajak mengenali mengapa dia perlu belajar, bagaimana cara belajarnya, sikap apa yang diperlukan untuk membuat aktivitas belajarnya sukses, dan manajemen diri.
Artinya, perlu waktu beberapa lama sebelum masuk ke materi. Ini hal mendasar yang membedakan pembelajaran dengan pengajaran. Mengajar bisa langsung masuk ke materi tanpa memperhatikan kesiapan anak, sedangkan pembelajaran menuntut anak benar-benar siap dan mampu belajar.
Saya sadar ada kekhawatiran. Waktunya tidak banyak, banyak kegiatan, banyak libur, bagaimana kalau materinya tidak selesai? Kalau masih berpikir tentang semua hal itu, berarti kita belum beranjak dari mengajar. Belajar itu tanggung jawab anak, sedangkan tanggung jawab guru adalah membuat anak mampu belajar.
Soal materi, itu bisa dimodifikasi. Saya yakin Anda bisa menyiasatinya. Kemampuan belajar lebih penting. Semakin dini dikembangkan akan semakin baik. Setelah anak mempunyai keterampilan belajar, segalanya akan terasa lebih ringan. Tidak percaya? Buktikan sendiri.

Sikap Positif

Belajar merupakan aktivitas multi inderawi. Ada faktor emosi yang berperan besar di dalamnya. Bahkan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan belajar yang cukup besar.
Diawal, anak dikondisikan untuk merasa aman dan nyaman. Kondisi ini merupakan syarat terciptanya kemampuan belajar yang optimal. Anak tidak takut mengungkapkan rasa ingin tahunya, berani mencoba hal-hal baru tanpa ada beban takut salah, bertanya saat tidak tahu, dan berpendapat dengan penuh pertimbangan.
Apa yang orang perlukan ketika ragu-ragu? Sebenarnya tidak ada yang paling efektif menolongnya kecuali dirinya sendiri. Yang dapat menolongnya adalah keyakinan. Keyakinan bahwa apapun pilihannya, itu adalah sebuah keputusan yang harus diambil. Dengan demikian ia siap menerima apapun risikonya.
Keyakinan pulalah yang menjadi bahan bakar untuk bertahan dan mencapai kesuksesan. Banyak cerita sukses lahir dari sebuah keyakinan. Seorang atlet harus menerima kenyataan, 4 bulan menjelang olimpiade mendapat cedera saat latihan. Oleh dokter dinyatakan tidak akan pulih dalam waktu dekat. Pokoknya, peluang untuk ikut olimpiade sangat kecil, kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Lalu apa yang ia lakukan? Saat terbaring menunggu pulih dari cidera, ia selalu membayangkan dirinya sedang latihan di lintasan lari. Hal ini dilakukannya dengan penuh keyakinan bahwa ia tetap bisa menjaga kondisi dan meningkatkan kemampuaannya. Hasilnya? Iapun bisa ikut olimpiade dan memperoleh emas!
Tapi ini juga bukan berarti keyakinan adalah segala-galanya. Keyakinan akan menjadi faktor penentu kalau sebelumnya sudah ada bekal yang cukup. Sekali lagi, keyakinan adalah bahan bakar, yang tentu saja tidak berarti apa-apa kalau mesinnya tidak ada atau tidak kompatibel dalam usaha mencapai kesuksesan.
Saya akan membawa hal ini ke wilayah pembelajaran di sekolah. Adalah sangat penting menumbuhkan keyakinan pada anak. Yakin bahwa dirinya bisa, yakin bahwa apa yang akan dilakukan aman, yakin tidak akan dipermalukan, ditertawakan, atau dikatakan bodoh, yakin bahwa seluruh lingkungan akan mendukungnya.
Keyakinan ini akan menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan percaya diri. Ketiga keadaan emosi inilah yang mendukung optimalnya proses belajar. Jadi merupakan suatu keharusan bagi seorang guru membuat anak merasa aman dan nyaman, serta menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Apa yang harusnya dilakukan seorang guru kalau ada seorang anak sedang mendapatkan masalah dalam menyelesaikan tugasnya? Misalnya belum memahami apa yang harus dikerjakan. Apakah guru akan memarahinya, atau mengatakan bahwa ia bodoh? Atau apakah seorang guru selalu memberikan instruksi dan teguran sepanjang waktu belajar sehingga anak merasa diperlakukan sebagai anak yang tidak paham? Atau mungkin guru selalu mengancam dengan berbagai hal dan membanding-bandingkan anak?
Semua tindakan tadi membuat suasana belajar tidak nyaman. Ada perasaan tertekan, takut, dan direndahkan. So, perasaan-perasaan itu mengikuti proses belajar. Akibatnya tentu saja anak harus bertarung dengan perasaan-perasaan negatif tersebut. Ini tentu saja mempengaruhi kualitas belajarnya. Belajar tidak menjadi tempat yang menyenangkan.
Di sisi lain, keyakinan harus selalu dipompakan pada diri anak. Cari dan nyatakan kemampuan anak secara lugas. Beri kesempatan kepada anak untuk menunjukkan kemampuannya, dalam bidang apapun. Sebaiknya guru tidak banyak bicara sehingga anak mempunyai kesempatan untuk tampil. Kritik juga tidak diberikan saat anak sedang bekerja.

Sekolah Sendal Jepit

Sendal jepit, biasanya sih dipakai di kamar mandi. Lalu bagaimana kalau ada sekolah sendal jepit? Tentu saja bukan maksudnya ada sendal jepit yang sekolah.
Sekolah ini sebenarnya sama saja dengan sekolah yang lainnya. Ada bangunan gedungnya, ada ruang kelas dengan meja-kursi dan whiteboard-nya, ada guru-guru yang semuanya sarjana, dan ada hal-hal lain sewajarnya sekolah. Sekali lagi, sekolah ini sama dengan sekolah lainnya.
Tapi tidak semuanya sama, kok. “Dari TK mana, Dik?” pertanyaan ini sering terdengar ketika anak-anak dari sekolah ini sedang mengadakan perjalanan keluar. Bukan karena tubuh yang mungil, tapi bajunya yang tak seragam membuat orang langsung mengambil kesimpulan bahwa ini adalah rombongan TK, padahal mereka anak SD.
Tidak berseragam, sekolah macam apa? Ya, sekolah semacam ini, Sekolah Sendal Jepit. Bisa saja seragam dianggap sebagai identitas, tapi bukankah tidak berseragam juga menunjukkan identitas? Seragam sekolah hanya menunjukkan identitas sekolah, sedangkan pergi ke sekolah dengan tidak berseragam menunjukkan identitas pribadi.
Dengan berseragam bisa saja tidak terlalu kentara strata sosialnya, sehingga mungkin ada kesetaraan. Meskipun juga terlihat ada yang baju seragamnya halus dan harum, ada pula yang kucel dan kusam karena selama seminggu dipakai ke sekolah.
Sedangkan di Sekolah Sendal Jepit yang tak berseragam ini, anak-anak setiap hari bisa memilih baju yang ia pakai. Hebatnya lagi, ternyata tidak ada yang berlomba-lomba mengenakan baju paling bagus. Tidak ada persaingan baju mahal. Ternyata dalam ketidak seragaman terjadi kesetaraan.
Ini baru tampilan luarnya, baru bajunya saja. By the way, disebut Sekolah Sendal Jepit karena memang banyak sandal jepit di sekolah ini. Alas kaki tidak dipakai saat masuk ruangan, jadi yang praktis , ya menyimpan sandal jepit di sekolah. Yang lebih heboh lagi, beberapa anak memakai sendal jepit dari rumah. Artinya mereka memang bersendal jepit pergi dan pulang sekolah. Lho, kok?
Bisa saja hal tersebut dipandang kurang pantas, tapi justru dihargai di sekolah ini. Walah. Ketika memutuskan memakai sandal jepit tentu anak sudah punya pertimbangan. Dan ini bukan hal yang mudah. Memakai sandal jepit ke sekolah itu tidak lumrah, bertentangan dengan kebiasaan. Kalau tidak kuat mental tentu tidak akan berhasil melakukannya. Ini yang dihargai, keputusan anak dan keberaniannya. Masalah lainnya bisa diselesaikan sering perjalanan waktu.
Dari sisi pembahasan yang lebih kontemplatif, Sekolah Sendal Jepit hanya ibarat saja. Sendal jepit itu praktis, tidak ribet memakainya. Begitu juga sekolah, harusnya tidak membuang-buang waktu dengan urusan yang rumit. Belajar dengan tidak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak menambah keterampilan dan mengembangkan potensi. Sekolah seharusnya membuat anak mampu belajar, bukan mengajari anak. Praktis.
Sendal jepit dipakai oleh semua lapisan. Inklusif. Sekolah melayani anak dari berbagai latar belakang sosial, budaya, bakat, dan potensi. Sendal jepit biasa dibawa kemana pun. Ia menjelajahi banyak hal dan tempat. Sekolah menyediakan kegiatan yang eksploratif. Anak melakukan banyak hal dan mendapat banyak pengalaman.
Pernahkah Anda melihat sendal jepit, tepatnya bekas sendal jepit, dipakai mainan? Jadi roda mobil-mobilan, misalnya. Atau dijadikan rem oleh tukang becak? Mungkin juga dijadikan pengganjal. Yang jelas, ketika rusak pun, sendal jepit masih bisa dimanfaatkan. Begitu pun belajar. Seharusnya tidak ada yang terbuang sia-sia. Materinya memang dibutuhkan anak, proses belajarnya memberdayakan, metode yang dipakai membuat anak semakin terampil dan menguasai banyak kemampuan.
Bukanlah belajar kalau ternyata memperdaya anak. Akan terbuang sia-sia jika materinya jauh dari yang dibutuhkan anak. Tidak berguna bila metode yang dipakai adalah cara-cara praktis, konsep ditinggalkan. Tanyalah diri kita sendiri, berapa persen pengetahuan yang kita pelajari di sekolah yang masih kita gunakan sampai sekarang? Untunglah ada sekolah Sendal Jepit. Tidak ada yang terbuang, apapun kondisinya tetap bermanfaat.

Persiapan Mengajar

Mengajar adalah melayani. Sebuah pelayanan yang baik tentu saja membutuhkan persiapan yang matang. Apa yang dipersiapkan? Materi dan kegiatan tentu saja menjadi komponen utamanya. Yang lainnya adalah kondisi fisik dan emosi. Dua hal ini sangat penting untuk diperhatikan.

a. Materi
Ada dua sudut pandang terhadap materi pembelajaran. Yang pertama sebagai sebuah tujuan. ini berhubungan dengan penguasaan konten materi. Yang kedua, materi pembelajaran merupakan sarana untuk mengembangkan softskills dan keterampilan belajar (how to learn). Softskills dan keterampilan belajar dikembangkan dalam proses penguasaan materi.
Dua sudut pandang ini akan mempengaruhi pemilihan kegiatan pembelajaran. Belajar bukan sekedar menguasai materi tetapi juga mengembangkan berbagai kemampuan. Kemampuan-kemampuan tersebut, softskills dan keterampilan belajar, merupakan keterampilan dasar yang bersifat umum dan aplikatif.
Beberapa hal yang diperhatikan dalam pemilihan materi:
 Kesesuaian dengan kebutuhan anak
 Kesesuaian dengan tahap perkembangan anak
 Kesesuaian dengan kondisi alam dan sosial
 Alokasi waktu yang dibutuhkan
 Urutan pemberian materi
 Pemilahan antara materi yang sangat penting, penting, dan kurang penting
 Tema pembelajaran, untuk yang bersifat tematis
Materi utama berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Materi tersebut bersifat cair, tidak terpaku pada apa yang tercantum dalam kurikulum. Materi dikembangkan secara mendalam dan juga melebar.
Materi bisa dilebarkan secara integral dengan materi yang lain, bisa juga memperkaya anak dengan membuatnya lebih dalam. Tekniknya bisa dengan membuat kegiatan yang melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kegiatan yang dimaksud diantaranya aplikasi, analisa, sintesa, dan evaluasi.
Aplikasi dapat diartikan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan dalam keadaan yang berbeda, misalnya menggabungkan dua fakta atau lebih menjadi sebuah hal baru. Contoh kegiatannya antara lain membuat diorama atau surat.
Analisis merupakan kemampuan memisahkan sebuah atau beberapa fakta dari fakta yang lebih besar. Misalnya membuat teka-teki silang dan grafik.
Sintetis adalah kebalikan dari analisis. Dalam sintesis dituntut kemampuan untuk menggabungkan beberapa fakta sehingga menghasilkan hal yang baru. Contohnya membuat desain rumah ramah lingkungan.
Tahap tertinggi, evaluasi, merupakan kemampuan untuk menilai, menimbang, dan memberikan putusan. Misalnya memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang cara mengatasi banjir.
Ketika akan masuk kelas, guru sudah mempunyai materi ajar dan bagaimana cara mengajarkannya. Bahkan jauh sebelumnya, sudah ada rencana penyampaian materi untuk satu tahun ajaran.
Bahan dan sumber belajar juga harus dipastikan siap untuk digunakan. Menjadi sebuah prosedur pribadi untuk memastikan rencana pembelajaran dapat berjalan dengan baik.

b. Ketahanan Fisik dan Emosi
Kegiatan belajar dengan banyak aktivitas dan semua implikasi yang mengikutinya, membutuhkan stamina tubuh yang prima. Ada tuntutan untuk selalu tampil all out, menampilkan sikap tubuh yang penuh optimisme dan ceria. Rasa lelah dan loyo tidak semestinya ditunjukkan kepada anak, apalagi secara verbal. Jadi, sebelum masuk kelas, pastikan bahwa kondisi tubuh memang layak mengajar.
Bukan hanya tampilan fisik, kondisi psikologis dan emosipun mempengaruhi kinerja. Ketika di kelas, total energi fokus pada anak. Masalah yang ada sedapat mungkin dilupakan terlebih dahulu, apapun masalahnya. Siapkan pula untuk menghadapi semua kondisi yang bisa jadi tidak terduga. Bersifatlah fleksibel.

Menuju Guru Efektif

Sebagai seorang guru, apakah Anda memerintah, mengatur, dan memimpin anak-anak, murid-murid Anda? Kalau memerintah, artinya Anda adalah penguasa, orang yang menguasai mereka. Kalau Anda mengatur berarti kesempatan anak-anak menjadi manajer bagi dirinya sendiri berkurang. Kalau Anda memimpin, kapan anak menjadi leader?
Penjungkirbalikan perlu dilakukan. Bukan untuk membuat pusing, tapi untuk mendapatkan sudut pandang baru. Langkah-langkah yang kita tempuh tidak selalu menguatkan. Lebih sering membuat kita jengah, lengah. Saat itulah kita butuh penyegaran.
Memandang dari sisi yang berbeda menghasilkan keterkejutan karena hasil bidiknya yang tidak biasa. Kalau biasa memerintah, cobalah mengajak murid-murid Anda. Maka Anda akan dikejutkan betapa lebih antusiasnya mereka. Kenapa? Karena mereka, murid-murid Anda merasakan ada medan keakraban yang anda pancarkan. Medan keakraban ini membuat mereka nyaman.
Bagaimana kalau biasa mengatur? Cobalah bebaskan mereka, berilah kepercayaan. Buka pintu kesempatan selebar-lebarnya bagi alternatif kegiatan dan cara bekerja. Kejutan apa yang akan Anda dapat? Anda akan melihat betapa kreatifnya murid-murid Anda. Anda mungkin tidak menyangka betapa kaya mereka dengan ide-ide yang selama ini terkekang karena banyaknya aturan. Selanjutnya Anda akan menjadi saksi tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap positif. Buah kepercayaan yang Anda berikan adalah berkembangnya diri dan kemampuan mereka.
Selanjutnya, kalau tidak memimpin anak-anak, apa yang harus dilakukan? Anda tidak harus selalu di depan. Berilah kesempatan lebih banyak kepada anak-anak untuk memimpin. Lebih baik Anda sering-sering berada di tengah dan di belakang. Ketika di tengah, saat itulah Anda menjadi seorang motivator yang menyulut api semangat sehingga berkobar menyala-nyala. Waktu berada di belakang, Anda mempunyai ruang pandang yang lebih luas. Anda bisa memonitor aktivitas dengan lebih baik. Saatnya Anda menjadi pengamat yang mampu memberi masukan positif dan konstruktif.
Sebagai guru, Anda mempunyai peran mengembangkan keahlian, bukan mematikan potensi. Menjadi dominan di kelas bukanlah sebuah cara tepat untuk memainkan peran tersebut. Sudah saatnya guru melihat lagi posisinya.
Dalam tataran aktivitas mengajar, banyaklah bergerak. Berdirilah dalam posisi yang menyatakan Anda adalah pribadi yang percaya diri. Melangkahlah untuk menarik perhatian. Gerakkan tangan untuk membangkitkan motivasi. Pilih kata-kata pembakar energi potensial mereka.
Lalu bawakan materi pelajaran dengan mengedepankan kemampuan berpikir. Jangan langsung membebani anak dengan hafalan. Beri mereka kesempatan mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah. Ajarkan anak mendekatkan materi yang dipelajari dengan pengalaman diri dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan aspek kehidupan lainnya yang ada di sekelilingnya.
Kunci sukses lain untuk menjadi guru yang efektif adalah memberi kesempatan yang lebih banyak kepada anak. Tidak perlu langsung mengambil alih kalau anak melakukan kesalahan. Tidak juga langsung menunjukkan yang benar. Biarkan anak mengetahui hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan supaya tidak menemukan kegagalan. Ketika Thomas Alva Edison berulangkali ‘gagal’ dalam percobaannya, ia tidak menyebutkan gagal. Thomas Alva Edison mengatakan telah menemukan banyak cara agar tidak gagal membuat lampu, dan hanya satu cara agar berhasil.
Kalau Anda belum biasa melakukannya, mulailah dari sekarang. Sekarang juga, jangan ditunda.

Menanamkan Nilai-nilai Dalam Pembelajaran

Tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ini merupakan usaha yang terstruktur. Artinya secara sengaja ada usaha dan proses agar perilaku anak semakin baik.
Saat menyusun rencana pembelajaran, seorang guru hendaknya sudah mempunyai tujuan nilai apa yang harus dicapai muridnya ketika materi sudah dipelajari. Nilai-nilai itu tentu saja yang relevan dengan materi terkait.
Apa pentingnya memberikan atribut nilai dalam pembelajaran? Materi dalam kurikulum kebanyakan berupa pengetahuan saja. Pengetahuan memang bisa menjadikan seseorang pandai, tapi belum tentu bisa menjadikan seseorang bermoral baik. Seseorang yang banyak pengetahuan tetapi bermoral buruk tentu saja sangat berbahaya.
Moral yang baik dapat dikembangkan dengan menanamkan nilai-nilai dalam pembelajaran. Harus diakui saat ini sekolah terlalu fokus pada penguasaan materi pembelajaran secara dangkal. Dangkal dalam arti hanya berupa hafalan-hafalan semata. Pembelajaran yang demikian menghasilkan manusia yang mekanis. Pemikiran mekanis selalu memandang sesuatu dengan dua kemungkinan dan jawaban saja, ya atau tidak. Pemikiran seperti ini kemudian menjadikan seseorang tidak fleksibel, kurang mampu menerima perbedaan, dan cenderung tidak peduli pada orang lain dan lingkungan, termasuk tata krama, norma, maupun hukum yang berlaku.
Dunia pendidikan, di samping keluarga dan masyarakat, memikul tanggung jawab terhadap perkembangan anak dalam interaksi dengan lingkungan dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.
Bahkan bukan hanya interaksi sosial dengan sesama makhluk hidup, penanaman nilai juga merupakan upaya membangun hubungan baik dengan Sang Pencipta. Menghargai sesama sebagai makhluk ciptaan-Nya, memelihara lingkungan sebagai ungkapan syukur, dan mengagumi keagungan-Nya melalui fenomena alam dan segala keteraturannya sehingga menambah keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan merupakan cara meningkatkan kualitas interaksi dengan-Nya.
Kehidupan yang tanpa nilai-nilai tak ubahnya sebuah rimba dimana siapa saja bisa berlaku seenaknya, tidak ada rasa peduli dan menghormati. Tata kehidupan seperti ini tentu saja akan merusak peradaban, bahkan akan menghancurkannya.
Dalam konteks kita saat ini, penanaman nilai dalam pembelajaran mutlak dilakukan. Budaya bangsa kita saat ini sedaang berada dalam kondisi yang sangat parah. Kerusakan moral dan lingkungan hidup merupakan hasil dari kurangnya nilai-nilai kehidupan warga negara.
Oleh karenanya, sudut pandang dunia pendidikan sudah waktunya digeser. Penguasaan materi di satu sisi memang penting, namun ada hal yang lebih penting lagi, untuk apa materi tersebut dikuasai? Kalau sudah menguasai mau apa? Apa gunanya bagi kehidupan? Dapatkah materi tersebut mengajak anak berpikir, merenungi fenomena yang lebih dalam dan luas dibalik pengetahuan?
Artinya, materi dan proses mendapatkannya haruslah membuat anak terbuka pikiran dan hatinya. Terbuka bahwa ada banyak kemungkinan, bahwa segala sesuatu selalu berkembang. Terbuka untuk menerima perbedaan dan menghargai orang lain, pendapat, dan kepentingannya. Terbuka sehingga mampu melihat, membedakan, dan mengidentifikasi hal baik yang layak dicontoh, serta yang buruk untuk tidak diikuti.
Hendaknya hal tersebut bukan hanya embel-embel saja, tetapi merupakan sesuatu yang inheren dalam pembelajaran. Penanaman nilai merupakan bagian kurikulum yang diolah sendiri oleh guru dan sekolah sebagai pengembang kurikulum. Apapun materinya hendaknya dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan yang berlaku umum, serta mengikatnya menjadi sebuah pemaknaan terhadap nilai-nilai ketuhanan.
Anak sering diajak berpikir, merenung, bertukar pendapat, bertanya, mencari jawabannya, memilih, memutuskan, memberikan argumentasi. Guru memberikan stimulus yang dekat dengan kehidupan. Pengalaman sendiri, pengalaman anak, film yang sedang populer, lagu yang sedang disukai, serta permainan yang sedang digemari merupakan contoh sumber inspirasi untuk menghubungkan materi pelajaran dengan nilai-nilai yang akan diajarkan.
Nilai-nilai yang diajarkan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi contoh konkret. Misalnya perdamaian, bukan dengan banyak bicara tentang definisinya tetapi hal apa dari materi pelajaran yang berhubungan dengan perdamaian. Setelah itu tunjukkan contoh nyata yang pernah terjadi.
Penanaman nilai juga tidak bersifat dogmatis, tetapi ada internalisasi dalam diri anak. Hal ini mensyaratkan adanya pemahaman anak terhadap nilai-nilai yang dikembangkan. Anak sadar pentingnya nilai tersebut dikembangkan dan mempunyai keinginan yang kuat untuk mampu mengaplikasikan, walaupun dalam lingkup yang paling kecil sekalipun.
Pembelajaran yang demikian menjadikan sekolah sebagai sebuah klinik yang mengobati penyakit masyarakat dan juga sebagai sebuah pusat pembinaan generasi yang tidak saja kompeten, tetapi juga berakhlak mulia. Ini mungkin yang disebut sebagai membangun manusia seutuhnya.

Mengajarkan Kreativitas

Pertanyaan yang mendahuluinya adalah perlukah kreativitas diajarkan? Kalau perlu, apakah sekolah yang mengajarkan kreativitas kepada anak-anak? Bila jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “Ya”, apakah kreativitas diajarkan sebagai bagian dari materi tiap bidang studi atau sebagai subjek yang terpisah? Bagaimana cara mengajarkannya?
Sebaiknya kita mulai dengan menyamakan pandangan tentang makna kreativitas. Apakah kreativitas hanya identik dengan seni?
Banyak definisi tentang kreativitas. Banyak pula yang berpandangan bahwa kreatifitas adalah kemampuan membuat sesuatu yang hasilnya sangat bagus. Pandangan ini menurut saya tidak sepenuhnya salah. Tapi juga belum sepenuhnya benar. Kreativitas tidak terbatas pada kemampuan memproduk sebuah benda atau barang, tetapi juga pada ide, cara pandang, dan pemecahan masalah. Kreativitas merupakan kemampuan dalam mempersepsi atau melakukan sesuatu dan memecahkan masalah dengan cara baru yang tidak biasa.
Kemajuan dalam berbagai bidang seperti yang terjadi sekarang dipandang sebagian orang membunuh atau menghambat potensi kreatif seseorang. Anak dengan mudah mendapatkan mainan, tidak perlu membuatnya sendiri seperti jaman dulu. Teknologi yang semakin mudah dipakai dan dan multi guna serta mampu mengakses berbagai hal membuat orang malas berpikir.
Benarkah hal tersebut mengakibatkan daya kreatif akan berkurang? Perkembangan teknologi membuat orang lebih mudah dalam menjalankan aktivitasnya, karena banyak peralatan yang bisa membantu. Dengan demikian orangpun punya waktu untuk mengerjakan hal lainnnya atau waktu luang yang lebih banyak. Waktu luang yang ada jika hanya dipakai untuk kegiatan yang bersifat pasif, misalnya habis untuk menikmati hiburan, bisa jadi kemajuan jaman membuat orang tergerus daya kreatifnya.
Dilain pihak, bila teknologi dipakai untuk menjawab tantangan jaman maka sebenarnya tidak ada potensi kreatif yang hilang. Terlebih kreativitas bukan hanya terbatas pada produk berupa barang, tetapi juga ide, gagasan, dan pemikiran. Kalau cara berpikir kita seperti ini, maka semakin maju semakin besar tuntutan untuk mampu berpikir kreatif. Karena pada dasarnya tantangan kehidupan tidak semakin berkurang, tetapi bertambah demikian banyak dan kompleks.
Nah, apa yang bisa kita lakukan? Kebutuhan akan daya kreatif yang demikian besar, mau tidak mau membawa kita kepada pemikiran bahwa kita perlu mempersiapkan generasi yang mampu mengembangkan kreativitasnya. Mengapa demikian? Karena kreativitas merupakan sebuah potensi, tidak akan keluar dan menjadi manifestasi jikalau tidak ada usaha untuk menumbuhkannya. Artinya kreativitas perlu lahan dan suplemen agar tumbuh dan berkembang dengan baik.
Sekolah tentu saja tak lepas daru tanggung jawab menyediakan lahan dan suplemen tersebut. Bahkan posisi sekolah cukup strategis, mengingat sebagian besar waktu anak-anak dilalui di sekolah. Ujung-ujungnya pasti akan sampai di pembelajaran. Masalahnya, bagaimana membuat proses pembelajaran mampu mengasah kreativitas anak?
Ini juga sebagai hal pendorong dari sisi yang berbeda terhadap perlunya perubahan dalam sistem pembelajaran. Sudah waktunya kita tinggalkan pembelajaran yang hanya mengedepankan penguasaan materi. Pembelajaran yang bersifat dogmatis, tertutup. Pembelajaran yang hanya mengenal benar atau salah, tidak menutup kemungkinan baru atau hal yang lain. Praktek belajar yang bersifat pasif, searah.
Yang diperlukan sekarang adalah pembelajaran sejati. Disebut pembelajaran sejati karena sejatinya pembelajaran itu membelajarkan. Membelajarkan berarti menggerakkan potensi belajar. Menggerakkan tentu saja perlu daya, yaitu daya atau potensi berkembang dari anak-anak. Potensi, inilah yang harus kita cari dan gali dari anak-anak. Bukan menjejali mereka dengan ceramah tentang definisi, hukum, teori, rumus dan tetek bengek lainnya.
Potensi akan bangkit kalau menemukan stimulus yang menantang. Buatlah pembelajaran yang menantang, menarik, membuat berbagai kemungkinan, maka kreativitas anak akan menyala-nyala menerangi jalan menuju solusi yang lebih baik. Ada solusi, berarti ada pemecahan masalah. Ya, pembelajaran hendaknya memberikan masalah yang bisa membuat anak terpacu memberikan pemecahannya.
Kunci pembelajaran yang mengasah kreativitas adalah keterbukaan terhadap segala kemungkinan, keterbukaan terhadap hal-hal baru, dan menghargai setiap pemikiran. Paradigmanya adalah tidak ada pemikiran yang aneh atau konyol, semuanya mungkin saja. Dengan demikian, berikanlah masalah yang bersifat terbuka, pertanyaan yang bisa dijawab dengan berbagai kemungkinan. Bukan hanya benar atau salah semata.
Kunci sukses lainnya dalam memacu kreativitas adalah banyak humor. Suasana santai sering menumbuhkan solusi aneh untuk memecahkan suatu problem.

Menjadi Model, Modalnya Apa?

Tiap hari selalu saja begini. Sepatu dan sandal berserak tak rapi. Ada yang masih sepasang, ada pula yang tinggal sendirian. Padahal kan rak sudah disediakan?
Ini bukan sekedar mereka, yang sepatunya berserakan itu, adalah anak-anak. Ini merupakan cermin dari budaya. Budaya tak peduli, budaya sak enak udhele dhewe. Kalau aku mau begini, emang kamu mau apa?!
Dalam skala lebih makro, budaya berserakan ini dapat kita jumpai dimana-mana. Semua serba bergerak tak teratur.Lihat saja di jalan raya. Ketidakteraturan sudah menjadi sesuatu yang teratur. Mengapa? Karena semua sistem di jalan raya, baik pengguna, aparat, dan perangkat, berjalan sesuai dengan keinginan sendiri. Berjalan mengikuti ego. Berjalan menatap lurus ke depan, tak peduli samping kini-kanan.
Lah, kalo sudah begitu yang terjadi tentu saja pelanggaran. Si pelanggar bisa saja kepergok sama penegak hukum. Hebatnya, entah si pelanggar yang cari teman agar tak atau penegak hukum yang begitu baik sehingga mau bersama-sama menjadi pelanggar. Benang kusut ini terus saja bergulir, menjadi bola yang semakin lama kian membesar dan terlalu capek untuk diurai. Dan ini kemudian menjadi sistem baru yang struktural. Pelanggaran menjadi biasa, bahkan legal. Nah, kalau sudah begini ketidakteraturan menjadi sesuatu yang teratur bukan?
Udah, ah. Terlalu panjang banget kalu dibahas terus. Kembali ke sepatu yang berserakan. Itu, tuh di SIGM. Ga adil banget deh kalo semata menyalahkan anak. Bukankah mereka itu peniru yang ulung? Mereka melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lihat. Siapa yang mereka lihat, tiru? Ya, kita-kita ini. Orang dewasa disekitar mereka.
Memang kita ini sangat hebat. Kita begitu menghargai waktu. Waktu adalah uang. Bahkan waktu adalah pedang! Ya, sehingga waktu sedetik pun begitu berharga. Bisa-bisa uang melayang, atau pedang akan mengakhiri hidup jika waktu terbuang. Jadi, buat apa cape-cape merapikan sepatu? Buang waktu saja, tidak efektif! Tidak bernilai ekonomis!
Tapi, bener gitu kita begitu menghargai waktu? Bukankah kita begitu fleksibel, sehingga soal waktupun bisa begitu elastis. Jam karet sudah jadi budaya. Institusi mana yang begitu peduli soal tepat waktu? Memang ada, tapi berapa banyak?
Lihat saat kinerja bangsa ini. Mana yang menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Memang semua menghabiskan waktu. Produktifkah? Jangan tanya dulu produktif apa ga. Waktu dilalui supaya jam kerja cepat habis, terus pulang. Begitu tiap hari, tiap bulan. Lalu gajian, begitu lagi sampai gajian berikutnya. Mau gapleh, ngobrol, main catur, ato makan siangnya di sebuah kafe di suatu mall, dengan belanja tentu saja, ngga pa-pa. Yang penting gaji tetap dibayar. Betul?
Nah, kalo gitu apakah namanya ini bukan musang berbulu domba, atau kita memang bermuka dua? Terlalu munafik kalo merapikan sepatu kita hubungkan dengan menghemat waktu. Berapa lama sih menyusun sepatu supaya rapi?
Dari sisi lain, kita ini sudah begitu terbiasa menghargai sesuatu yang berada di atas, kita begitu hormat. Sebaliknya, yang dibawah kita hampir, bahkan tidak peduli. Nah sepatu kan tempatnya dibawah. Yang namanya di bawah di negeri ini ga pernah dapat tempat. Selalu dipinggirkan dan terusir. Diinjak-injak dan ga perlu banget untuk dipedulikan. Lebih menyedihkan lagi selalu dianggap pengganggu keindahan.
Begitu juga sepatu-sepatu malang. Mereka ga dipedulikan. Dibiarkan berserakan. Dinjak-injak orang lain, selalu digusur, bahkan saling terpisah. Berserakan, kotor karena terinjak, sepatupun dianggap perusak keindahan. Betapa tak adilnya kita ini.
Jadi menurut saya sepatu yang berserakan itu bukan hal yang sepele. Ada pembelajaran yang begitu hebat. Yuk, kita bayangkan memperbaiki negeri ini dengan langkah awal memperlakukan sepatu secara lebih smooth dan smart. Bukan hanya masalah kerapihan dan keindahan. Ini bisa menjadi terapi bagi kita untuk peduli pada hal-hal kecil, masalah kecil, orang-orang kecil. Kita bisa belajar menghargai orang lain, membiasakan diri menjadi teratur. Menghilangkan budaya saling menggusur dan tak peduli.
Kembali ke sepatu yang berserakan di SIGM. Sebagai model yang selalu ditiru, kitalah yang mempelopori untuk menyusun sepatu. Disiplin tentu saja kunci suksesnya. Jangan berharap ada perbaikan kalo kita sendiri tidak berusaha untuk berubah. Jangan malah kita ikutan-ikutan naruh sepatu dimana saja, dengan alasan ya udah begitu, mau apalagi? Kalau memang seperti itu, benar sekali mau apalagi? Jangan pernah bermimpi memperbaiki negeri ini.

Makna Belajar

Sudah terlalu lama kita terkecoh dengan definisi belajar. Ketika otak kita mengakses kata ‘belajar’, maka jaringan saraf akan mengirim impuls berupa kumpulan kosakata membaca, menghafal, mencatat, dan latihan soal.
Tidak ada yang salah dengan otak kita. Karena memang seperti itulah yang ia terima selama bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun. Atau mungkin pertanyaan awalnya adalah benarkah belajar itu adalah menghafal dan latihan soal?
Jawabannya tentu saja benar kalau kita melihat kenyataan di sekolah-sekolah kebanyakan. Ingat kan kita bahwa anak itu ibarat kertas yang masih kosong? Atau wadah yang harus diisi? Nah, guru dan orangtua yang membuat tulisan dan mengisi wadah yang kosong tadi. Semua terserah guru dan orangtua. Anak cukup mengulang apa yang pernah diberikan. Supaya bisa mengulang, tentu saja anak harus menghafalkan. Ini yang disebut belajar adalah menghafal dan latihan soal.
Perkembangan yang pesat dan tak terelakkan dalam bidang informasi memaksa adanya perubahan dalam banyak aspek. Termasuk dalam mendefinisikan belajar. Ternyata menghafal tidak bisa menjadikan anak mampu bertahan kelak. Dari sekian fakta yang dihafal, berapa persen yang digunakan dalam kehidupan? Dapatkah kita hidup hanya dengan menghafal? Apakah yang dibutuhkan dunia kerja adalah hafalan beribu-ribu fakta?
Menghafal memang tidak bisa dibuang begitu saja. Kita dikarunia otak dengan kemampuan memori yang begitu hebat. Ini tentu saja agar manusia bisa menyimpan berbagai fakta. Tapi sebatas hafalan, tidak akan banyak dipergunakan. Dalam pembelajaran, ini dapat diartikan bahwa fakta bukan dihafal, tapi ditemukan.
Menemukan fakta tidak sama dengan menerima fakta. Menemukan fakta berarti ada kegiatan membangun pengetahuan. Kenapa pengetahuan dibangun bukan ditransfer?
Coba kita bayangkan, membangun pengetahuan itu ibarat tunas yang mendapatkan air untuk pertumbuhannya.
Tunas berkembang dengan air yang didapatkannya. Sedangkan transfer pengetahuan dapat disamakan dengan menuangkan air ke dalam gelas. Air tidak bisa memberi perubahan pada gelas. Bila gelas penuh airpun tumpah, tak tertampung.
Aktivitas belajar hendaknya memberdayakan anak. Anak bukan hanya belajar tentang sebuah atau beberapa materi kurikulum, tetapi mendapatkan pengalaman belajar yang mengasah kemampuan dasar untuk belajar (learning how to learning) dan menghadapi kehidupan.
Kemampuan itu antara lain kemampuan bekerjasama, komunikasi, perencanaan, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Kemampuan-kemampuan tersebut akan dapat berkembang bila anak mempunyai percaya diri, inisiatif, kreatifitas, dan rasa ingin tahu yang besar.
Nah, dengan demikian belajar akan bermakna dan memberdayakan anak bila didalamnya secara sengaja direncanakan anak mendapatkan pengalaman yang baru dan mengasah kemampuan-kemampuan dasar.
Tampaknya kita perlu mengubah cara pikir dan cara pandang tentang belajar. Belajar bukanlah sekedar penguasaaan materi, tetapi bagaimana memberdayakan potensi dan mengembangkan diri. Materi sebagai sesuatu yang harus dikuasai tidak ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dalam belajar. Materi merupakan sarana saja, bukan sebagai tujuan akhir.
Pengembangan dan pemberdayaan diri tidak dapat dicapai dengan menghafal. Menghabiskan energi dan waktu dengan menghafal ibarat mendirikan bangunan tanpa pondasi yang menopangnya, rapuh dan mudah roboh. Atau seperti air yang melewati pipa. Berlalu begitu saja tanpa memberi dampak positif bagi pipa tersebut. Bahkan kadang membuat pipa jadi berlumut.

Lakukan, dan Mereka Akan Mengikuti

Cerita klise guru-guru di republik ini adalah betapa banyak nasihat-nasihat bijak yang mereka telah berikan kepada murid-muridnya. Tapi apa yang terjadi? Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri begitu kita punya ibarat. Ribuan kalimat itu ternyata tidak mempunyai daya yang cukup besar untuk menggerakkan hati. Ini bisa jadi cerita klise ataupun anekdot, mungkin juga drama melankolis, tergantung bagaimana kita memandangnya.
Pasti ada yang salah. Apa? Bukankah nasihat-nasihat itu begitu bagusnya? Bukankah seharusnya guru itu digugu (didengar) dan ditiru? Ini! Digugu dan ditiru. Supaya didengar seorang guru harus berbicara. Kalau memberi nasihat saya rasa guru sudah bicara. Lalu supaya ditiru, guru harus melakukan sesuatu. Artinya, nasihat saja tidak cukup. Anak perlu melihat contoh dari gurunya. Guru jangan hanya jadi tong kosong. Nanti bisa jadi seperti peribahasa, tong kosong nyaring bunyinya. Mau?
OK, mari kita balik cara berpikirnya. Bukan seharusnya guru itu digugu dan ditiru, tapi bagaimana supaya guru bisa digugu dan ditiru. Tentu saja itu merupakan dua hal yang sangat berbeda. Seharusnya digugu dan ditiru berarti menuntut orang lain. Menuntut orang lain (anak) supaya mau mendengarkan apa yang dikatakan guru, kemudian melakukannya. Dalam kasus tertentu hal ini bisa bersifat pemaksaan.
Sedangkan bagaimana supaya bisa digugu dan ditiru mengandung pemahaman bahwa seorang guru harus melakukan usaha agar didengar dan diikuti murid-muridnya. Apa yang dikatakan guru bukan hanya terdengar, tapi juga didengar. Terdengar artinya tidak dikehendaki orang lain mendengarkan atau orang lain sebenarnya tidak mau mendengar. Didengar berarti ada usaha dari orang lain untuk mendengar. Motivasi yang mendengarkan tentu saja karena ingin tahu apa yang terucap.
Lalu bagaimana supaya seorang guru bisa didengar oleh murid-muridnya? Sederhana saja, melakukan apa yang dikatakan. “Datang tepat waktu, ya!” kata guru kepada murid-muridnya. Kalau mau didengar tidak cukup dengan diucapkan berulangkali dan suara yang jelas. Yang perlu dilakukan guru adalh datang tepat waktu, tidak terlambat. “Kita tidak usah malu meminta maaf” kalimat itu hanya terdengar. Buktinya anak-anak susahnya minta ampun kalau harus meminta maaf. Lalu, sudahkah kita sering memberI contoh dengan meminta maaf pada anak-anak?
Intinya, jadilah model. Kalau kita ingin anak-anak menunjukkan rasa tanggung jawab, ya kita tunjukkan bagaimana kita bertanggung jawab. Kalau kita minta anak-anak disiplin, kitalah yang memberi contoh sikap disiplin, kalau ingin anak-anak membuang sampah pada tempatnya, janganlah kita membuang sampah sembarangan. Katakan dan lakukan, jangan katakan dan minta orang lain melakukannya.

Komunikasi yang Menggerakkan

Komunikasi merupakan komponen pokok dalam pembelajaran. Coba bayangkan sebuah kelas tanpa ada komunikasi dalam bentuk apapun. Tidak akan pernah ada kelas tanpa komunikasi.
Komunikasi sebagai sebuah media pembelajaran bisa jadi bumerang yang akan membuat aktifitas belajar kehilangan maknanya. Hal ini terjadi jika komunikasi yang dipakai mengandung limbah-limbah beracun dan berbahaya. Bagaimana sebuah komunikasi bisa beracun?
Tanpa disadari sering kali cara berkomunikasi guru kontra- produktif dengan hasil yang ingin dicapai. Misalnya, “Jangan ngobrol saja. Kalian sudah tahu sendiri kalau materi yang sedang kita pelajari ini sangat rumit. Kalau kalian tidak memperhatikan pasti akan kebingungan. Jadi walaupun mungkin terasa susah dan membosankan, kalian tetap perhatikan, ya.”
Apa yang anak bayangkan dari perkataan guru di atas?
Anak langsung merasakan adanya larangan. Dia merasa dalam posisi yang tidak enak, sehingga rasa nyamannya berkurang atau bahkan hilang. Ditambah lagi ada pernyataan bahwa materinya susah dipelajari. Diperparah oleh bayangan bahwa proses belajarnya akan membosankan.
Coba bandingkan dengan yang ini, “Anak-anak, silakan kalian duduk dengan tertib di tempatnya masing-masing. Sebentar lagi kita akan mempelajari materi yang sangat menantang. Bapak tahu kalian suka tantangan, dan Bapak juga yakin kalian akan mampu menyelesaikan tantangan ini dengan baik. Baik, sebelum kita mulai petualangan, kita berdoa dulu.”
Gaya komunikasi yang kedua bersifat positif. Ini adalah pilar pertama, yaitu memunculkan kesan positif. Mari kita cobalah eksperimen ini: Jangan bayangkan Anda sedang naik roller coaster. Jangan bayangkan Anda berpegangan kuat ketika roller coaster mulai berjalan. Jangan pula membayangkan Anda berteriak ketika roller coaster menukik tajam setelah menyelesaikan tanjakan, dsb.
Apa yang terjadi? Untuk tidak membayangkan roller coaster otak kita terlebih dahulu membuat pencitraan roller coaster. Kita sudah membayangkannya sebelum tidak membayangkan. Artinya, selama di kelas guru perlu menjaga agar citra yang timbul adalah positif. Bagaimana caranya? Don’t say “Don’t”, hindari kata ‘jangan’. Pakailah kalimat positif. Setelah itu kita beri persepsi bahwa materinya bisa dikuasai, proses belajarnya menyenangkan, dan yang paling penting bahwa setiap orang adalah hebat.
Pilar kedua dari komunikasi yang menggerakkan adalah mengarahkan fokus. Mari kita berekperimen lagi. Lihat telapak tangan Anda. Perhatikan detail-detailnya. Setelah itu, perhatikan sekeliling Anda. Apa yang terjadi pada Anda?
Ketika melihat telapak tangan, kita fokus pada garis-garis, warna, pola sidik jari, dan sebagai. Begitu perhatian kita alihkan ke sekeliling, dalam sekejap detail tentang telapak tangan itu hilang.
Sekali lagi, hindari kata ‘jangan’. “Ketika melewati aula jangan memainkan alat musik yang ada disana”, pernyataan seperti ini justru akan menimbulkan dorongan untuk melakukannya. Akan lebih baik jika, ” Cari tempat berkumpul kelompok kalian. Pindahlah langsung ke tempat itu, dan bawa buku kalian.”
Yang ketiga adalah bersifat mengajak. “Ibu ingin...”, “Bapak minta...”, “Kalian harus...” menimbulkan kesan aku – kamu, bukan kita. Ini mengakibatkan anak merasa tidak terlibat karena tidak pernah diajak, melainkan hanya disuruh dan melakukan saja. Komunikasi seperti itu juga apa yang akan dikerjakan bersifat sepihak.
Berbeda kalau misalnya bentuk komunikasinya adalah, “Mari kita...”, atau “Ayo...” secara implisit sudah menyatakan keterbukaan, disamping melibatkan anak secara langsung.
Terakhir, komunikasi bisa menggerakkan kalau bersifat spesifik. Artinya jelas dan terpahami. Seringkali kita menggeneralisasi, seolah-olah orang lain paham dengan apa yang kita inginkan. Sehingga apa yang kita komunikasikan tidak lengkap.
Komunikasi yang lengkap tidak berarti bahwa kita perlu menambah kata-kata dalam pernyataan kita. Kata-kata yang terlalu banyak bahkan bisa mengaburkan inti yang kita maksud.
Akan terasa efektif kalau kita mengawalinya dengan kata kerja. Supaya lebih punya daya gerak, kita bisa menambahkan aba-aba. Misalnya, “Setelah hitungan ketiga, kumpulkan jenis-jenis batuan yang ada di halaman. Satu,....... .”

Keyakinan Seseorang Mengenai Kemampuan Dirinya Sangat Berpengaruh Pada Kemampuan Itu Sendiri

Apa yang orang perlukan ketika ragu-ragu? Sebenarnya tidak ada yang paling efektif menolongnya kecuali dirinya sendiri. Yang dapat menolongnya adalah keyakinan. Keyakinan bahwa apapun pilihannya, itu adalah sebuah keputusan yang harus diambil. Dengan demikian ia siap menerima apapun risikonya.
Keyakinan pulalah yang menjadi bahan bakar untuk bertahan dan mencapai kesuksesan. Banyak cerita sukses lahir dari sebuah keyakinan. Seorang atlet harus menerima kenyataan, 4 bulan menjelang olimpiade mendapat cedera saat latihan. Oleh dokter dinyatakan tidak akan pulih dalam waktu dekat. Pokoknya, peluang untuk ikut olimpiade sangat kecil, kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Lalu apa yang ia lakukan? Saat terbaring menunggu pulih dari cidera, ia selalu membayangkan dirinya sedang latihan di lintasan lari. Hal ini dilakukannya dengan penuh keyakinan bahwa ia tetap bisa menjaga kondisi dan meningkatkan kemampuaannya. Hasilnya? Iapun bisa ikut olimpiade dan memperoleh emas!
Tapi ini juga bukan berarti keyakinan adalah segala-galanya. Keyakinan akan menjadi faktor penentu kalau sebelumnya sudah ada bekal yang cukup. Sekali lagi, keyakinan adalah bahan bakar, yang tentu saja tidak berarti apa-apa kalau mesinnya tidak ada atau tidak kompatibel dalam usaha mencapai kesuksesan.
Saya akan membawa hal ini ke wilayah pembelajaran di sekolah. Adalah sangat penting menumbuhkan keyakinan pada anak. Yakin bahwa dirinya bisa, yakin bahwa apa yang akan dilakukan aman, yakin tidak akan dipermalukan, ditertawakan, atau dikatakan bodoh, yakin bahwa seluruh lingkungan akan mendukungnya.
Keyakinan ini akan menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan percaya diri. Ketiga keadaan emosi inilah yang mendukung optimalnya proses belajar. Jadi merupakan suatu keharusan bagi seorang guru membuat anak merasa aman dan nyaman, serta menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Apa yang harusnya dilakukan seorang guru kalau ada seorang anak sedang mendapatkan masalah dalam menyelesaikan tugasnya? Misalnya belum memahami apa yang harus dikerjakan. Apakah guru akan memarahinya, atau mengatakan bahwa ia bodoh? Atau apakah seorang guru selalu memberikan instruksi dan teguran sepanjang waktu belajar sehingga anak merasa diperlakukan sebagai anak yang tidak paham? Atau mungkin guru selalu mengancam dengan berbagai hal dan membanding-bandingkan anak?
Semua tindakan tadi membuat suasana belajar tidak nyaman. Ada perasaan tertekan, takut, dan direndahkan. So, perasaan-perasaan itu mengikuti proses belajar. Akibatnya tentu saja anak harus bertarung dengan perasaan-perasaan negatif tersebut. Ini tentu saja mempengaruhi kualitas belajarnya. Belajar tidak menjadi tempat yang menyenangkan.
Di sisi lain, keyakinan harus selalu dipompakan pada diri anak. Cari dan nyatakan kemampuan anak secara lugas. Beri kesempatan kepada anak untuk menunjukkan kemampuannya, dalam bidang apapun. Sebaiknya guru tidak banyak bicara sehingga anak mempunyai kesempatan untuk tampil. Kritik juga tidak diberikan saat anak sedang bekerja.

KETIKA ANAK MENGATAKAN, “BOSEEEN….!”

Tentu saja sangat tidak mengenakkan mendengar anak-anak serempak berteriak, “Boseeen!” Pernahkah Anda mengalaminya? Bersyukurlah kalau belum. Saya pernah mengalaminya. Tapi saya juga bersyukur. Bagi saya, ungkapan seperti itu tidak menjadikan diri mundur, tidak membuat semangat surut. Justru saya merasa perlu terus maju dan semakin terpacu.
Saya senang. Paling tidak anak-anak berani mengungkapkan perasaannya. Ini berarti bahwa mereka mengetahui apa yang dirasakan. Lalu, biasanya, saya tanya, “Maunya ngapain?” Ah! Saat itulah semua anak bicara. Bisa jadi kelas jadi ribut, riuh rendah. Saya merasa tidak perlu marah dan berteriak, “Diam!”
Mengapa tidak tersenyum saja? Bukankah kita ingin anak-anak berani bicara, mengeluarkan pendapat? So, saya pun mencoba merasa gembira. Tapi tidak cukup hanya itu. Banyaknya pendapat menuntut sebuah pengaturan lalu lintas suara dengan baik. Semua berbicara, semua mendengar, semua peduli, dan semua menghargai.
Sebagai sebuah kegiatan yang kompleks, belajar melibatkan perasaan dan emosi, belajar dipengaruhi banyak hal. Termasuk merasa bosan. Bisa jadi anak-anak merasa bosan karena kegiatan belajarnya monoton, begitu-begitu saja. Atau bosan karena kurang tantangan.
Nah, disinilah serunya. Momentum ‘bosen’ adalah peringatan dini untuk mawas diri. Ada apa dengan cara mengajar kita? Sudah cukup menantangkah kegiatan yang kita rencanakan? Guru yang baik tentu saja selalu mengadakan perubahan. Saya ingin jadi guru yang baik. Jadi, saya melakukan perubahan.
Perubahan tidak perlu harus radikal, saya rasa. Memulai dari perubahan kecil adalah sebuah langkah besar. Aktivitas belajar yang dimodifikasi dibeberapa bagian sudah merupakan perubahan. Kemudian kita ubah bagian lainnya,begitu seterusnya. Akhirnya kita akan mendapatkan banyak variasi dari satu tipe aktivitas belajar.
Langkah paling awal saat mendapat ‘serangan bosen’ dari anak adalah bersikap tenang. Tidak perlu panik. Kepanikan bisa terbaca jelas oleh anak. Walaupun sakit dan pahit, tetaplah tersenyum. Kemudian bersantailah. Ajak anak melakukan sesuatu yang fun, sambil mencari kegiatan alternatif yang menarik.
Merespon dengan kemarahan atau rasa jengkel juga tidak diperlukan. Hal tersebut malah bisa kontradiktif dengan tujuan pembelajaran. Santai saja.
Jadi, jangan takut bila anak berkata, “Boseeen!”

Bagaimana Sebuah Kelas Mendukung Efektivitas Belajar?

Kelas, sebagai tempat belajar bisa menjadi faktor pendukung keberhasilan pembelajaran bisa juga berperan kontraproduktif. Kelas bisa memberi kenyamanan dan rasa aman, bisa pula menjadi tempat yang terasa sumpek. Semua tergantung bagaimana cara mengelola ruang kelas.
Yang pertama diperhatikan adalah ukuran kelas. Kelas yang terlalu besar akan mengakibatkan kesulitan dalam memfokuskan anak. Kalau kelasnya terlalu kecil, anak tidak punya ruang gerak yang cukup. Ukuran kelas juga tergantung tingkat aktifitas. Untuk kelas bawah, dimana butuh ruang aktifitas yang besar, ukuran kelas hendaknya tidak sama dengan kelas atas yang kebutuhan akan ruang sudah berkurang.
Kelas tertentu, misalnya laboratorium atau kelas seni, membutuhkan ruang yang besar. Aktifitas di kelas-kelas tersebut memerlukan ruang gerak yang bebas.
Ruang kelas juga harus terasa aman dan nyaman. Aman dalam arti anak bisa beraktifitas tanpa terganggu kemungkinan terjadi kecelakaan atau kerusakan. Dalam hal ini hendaknya di dalam kelas tidak terdapat barang-barang yang mudah pecah. Kalaupun ada, disimpan dalam tempat yang aman.
Kelas yang aman mensyaratkan kuatnya bangunan sehingga kecil kemungkinan akan rubuh. Bahan-bahan pembuatnya juga tidak mengandung bahan-bahan yang beracun dan berbahaya.
Ventilasi dan pencahayaan juga merupakan faktor yang penting. Keduanya mempengaruhi tingkat kenyamanan di dalam kelas.
Nah, sekarang waktunya menjadikan ruang kelas temapt yang menarik. Bagaimana warnanya? Tata ruangnya seperti apa? Warna menstimulasi dan menimbulkan emosi-emosi tertentu. Kita sudah sama tahu, emosi berperan penting dalam pembelajaran.
Penataan kelas yang teratur dan rapi menumbuhkan kecintaan anak terhadap kelasnya. Juga mengarahkan anak untuk selalu rapi dan teratur pula. Posisi meja dan kursi anak bukanlah bersifat fleksibel. Sewaktu-waktu dapat diganti sesuai keperluan.
Sedangkan posisi papan tulis dipilih tempat yang enak untuk dilihat dari tempat duduk anak. Akan lebih baik kalau papan tulis juga bisa dipindah tempatkan.
Hiasan, poster, tulisan-tulisan juga membangun bisa membangun suasan kelas yang ideal. Kuncinya, hiasan, poster, ataupun tulisan tersebut mempunyai kekuatan menggerakkan, mempunyai daya mendorong, serta menarik anak untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Hiasan, poster, dan tulisan bersifat positif dan menimbulkan emosi positif.
Untuk mengajarkan materi tertentu, setting kelas bisa diubah sesuai materinya. Ketika mempelajari mempelajari benda-benda luar angkasa, setting kelas bisa berupa suasana ruang angkasa

Jadilah Dirimu, Nak. Dengan nama-Nya

Seorang teman guru menyatakan bahwa salah satu yang dia harapkan adalah bisa membuat seseorang bisa mengenal dirinya sendiri. Mengenal diri, bukan tahu nama, asal-usul, dan data diri lainnya. Bukan ’adanya’ tapi ’apanya’. ’ada’ adalah fenomena fisik, yang terlihat. Sedangkan ’apa’ adalah inner space, sesuatu yang berada dalam ruang batin.
Saya tercenung. Mengapa perlu mengenal diri sendiri? Bagaimana cara agar seseorang bisa mengenal dirinya? Apa indikasi mengenal diri sendiri?
Kemudian saya ingat: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” mungkin ini salah satu mengapa manusia harus mengenal dirinya sendiri. Mengenal Tuhan berarti bukanlah biasa-biasa saja. Ini pasti berhubungan dengan sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu yang dahsyat. Hem..., sepertinya mengenal diri sendiri dimulai dengan menemukan keunikan diri sendiri. Mengapa? Dengan mengenal keunikan diri sendiri akan tumbuh rasa syukur yang tak henti. Rasa syukur inilah yang kemudian akan menggerakkan seluruh kekuatan untuk berbuat kebaikan dan melakukan yang terbaik dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, bersyukur akan membawa diri melihat fenomena-fenomena dari kacamata kekaguman atas sang maha pencipta.
Allah menciptakan semua makhluknya secara unik. Manusia diciptakan berbeda dengan malaikat, tumbuhan ataupun hewan. Tiap jenis makhlukpun diciptakan berbeda. Tidak ada yang sama, sekalipun itu kembar. Jadi fitrah makhluk, termasuk manusia, adalah unik. Berbeda.
Manusia unik karena ada beragam sifat, potensi, bakat, kecerdasan, kebiasaan, dan sebagainya. Disinilah saya menyadari betapa beratnya membelajarkan seorang anak agar kelak ia mampu mengenal dirinya sendiri. Beruntung saya ada kesempatan untuk mempelajari Multiple Intellengeces. Saya harus berterimakasih kepada Howard Gardner. Lewat MI, saya mulai memahami keunikan murid-murid saya. Mata saya terbuka, semua orang adalah juara. Semua anak punya potensi untuk menguasai sesuatu yang sama besar. Jalan dan cara mempelajarinya yang berbeda.
MI, ketika dipraktekkan dalam pembelajaran, ternyata membantu anak mengenal kesukaan, mengenal potensi, memahami emosi dan keinginannya. Dan yang lebih penting, anak bisa mempelajari sesuatu dengan cara yang ia sukai. Tentu saja itu akan membuat senang. Inilah mungkin awal mengenal diri sendiri.
Terlepas dari semua itu, agar anak bisa mengenal diri sendiri apa yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah. Apakah, em...lebih tepat, bagaimana Matematika, Sains, Bahasa, dan Pengetahuan Sosial bisa membuat anak mengenal dirinya? Bukankah materi pelajaran sebagaimana dalam kurikulum adalah hal-hal yang berada di luar diri manusia?
Nampaknya, kalau kita punya motto:’Jadilah dirimu, Nak. Dengan nama-Nya”, kita harus bermain-main dengan kurikulum. Kita dandani sedemikian rupa sehingga pengalaman belajar bisa membuat anak masuk, menyelami, merasakan, merenungi materi pembelajaran. Ketika mempelajari tata surya misalnya, anak bukan hanya menghafal nama-nama planet dan ukurannya, tetapi juga kalau menjadi planet dirinya lebih cocok menjadi planet apa dan mengapa?
Kalau begitu, kita memang harus kembali ke MI. MI menyediakan itu, bahkan lebih. Cukupkah dengan ini saja?
Menjadi diri sendiri butuh nyali. Menjadi diri sendiri berarti berani beda, dengan tidak perlu sengaja membedakan diri. Disinilah butuh keberanian, rasa percaya diri. Ya, kembangkan percaya diri anak. Bangkitkan harga dirinya, dengan cara menghargai anak dan memberi peluang untuk menunjukkan; INI AKU!

“How” Dulu, Baru “What”

Apa jadinya kalau di sekolah kegiatan yang berlangsung adalah menghafal? Atau anak (murid) dianggap sebagai wadah yang harus diisi? Bagaimana kalau wadah itu suatu saat akan penuh? Mampukah kemampuan menghafal fakta akan merubah perilaku, menjadikan perilaku menjadi lebih baik? Mampukah seseorang menghadapi kenyataan persoalan kehidupan dengan hafalan dan penguasaan sejumlah fakta?
Mana yang kita pilih: anak menguasai dan menghafal sejumlah fakta untuk dapat menjawab soal-soal ujian, atau anak menguasai kemampuan untuk menjawab tantangan jamannya?
Pilihan itu yang akan menentukan bagaimana kita memandang proses pembelajaran anak-anak kita. Harus diakui sampai saat ini ukuran kesuksesan masih diukur dengan keberhasilan anak dalam ujian (nasional) yang sifatnya sementara. Bersifat sementara karena ujian merupakan kumpulan soal hafalan, yang dapat dipelajari sebentar dan kemudian setelah ujian dilupakan.
Untuk tingkat dasar, alangkah tersia-sianya waktu 6 tahun kalau anak hanya diarahkan untuk bisa menyelesaikan soal-soal ujian. Apa yang bisa dibawa anak dalam kehidupan?
Budaya instan tampaknya sudah lama menjangkiti dunia pendidikan. Efek bola salju dari hal ini sungguh menyesakkan dada. Orangtua berlomba dengan segala usaha agar anaknya tampil sempurna saat ujian. Berbondong-bondong mereka membawa anak-anaknya ke bimbingan belajar.
Sekolah tak kalah sibuk dengan makhluk yang bernama ujian. Keberhasilan dalam ujian merupakan nilai positif untuk meningkatkan popularitas dan favoritas sekolah. Maka semua daya dikerahkan agar murid-murid sukses dalam ujian. Jalan pintasnya adalah anak dijejali dengan fakta, rumus, dan hafalan. Bukan itu saja, kebocoran soal ujian sudah menjadi rahasia umum. Pengawas silang dari sekolah lainpun sudah tahu sama tahu. Sebuah koordinasi harmonis dan sangat rapi, sehingga dari tahun ke tahun berjalan begitu lancar.
Anak-anakpun tak kalah risaunya. Bukan salah mereka, saya kira. Tekanan yang begitu berat dari guru dan orangtua membuat mereka hanya bisa pasrah. Yang melakukan perlawanan akhirnya disebut tidak dapat diatur, diarahkan. Mereka frustasi dalam sistem yang demikian keruh. Anak-anak tak berdaya. Sudah demikianlah adanya apa yang mereka terima sejak tingkat awal masuk sekolah.
Terbentuklah kemudian generasi yang sangat hebat dalam hafalan dan penguasaan fakta. Kadang-kadang kemampuan mereka sungguh mencengangkan. Tapi hanya sebatas fakta. kering. Selanjutnya mereka bingung ketika berhadapan dengan masalah dalam kehidupan. Akibatnya selanjutnya tentu saja seperti yang terjadi sekarang. Generasi instan. Generasi yang gagap dan gugup menghadapi masa depan.
Anak-anak yang frustasi tak kalah merisaukan. Ada yang menjadi liar. Mereka mencari aktualisasi lewat jalur underground. Meraung dimana-mana secara sporadis. Berteriak tentang galau yang menyesakkan dada. Simbol-simbol perlawanan didewakan, diikuti sedemikian rupa sehingga kemudian menjadi pemujaan. Kata-kata dan pendapatnya menjadi dogma. Mereka berkelompok, mengasingkan diri dan menjadi eksklusif. Entah menjadi strata atau sistem sosial baru. Atau mungkin menjadi sesuatu yang belum terdefinisikan.
Sementara itu ada yang asyik menikmati rasa frustasinya sendiri. Mereka tertutup dari siapapun. Menjadi pemurung, atau mungkin perenung. Menjadi orang aneh bagi masyarakatnya. Mereka menikmati interaksi dengan dirinya secara begitu luar biasa. Menjadi makhluk yang hidup sendirian di dunia.
Sebagian dari kelompok ini kemudian menghuni rumah sakit jiwa, pusat rehabilitasi narkoba, dan penjara. Sebagian lagi mengakhiri kisahnya dengan leher terlilit tali, memutuskan nadi, atau menembak kepala sendiri.
Anak-anak itu tak terbiasa untuk memecahkan masalah. Mereka bergerak begitu saja mengikuti arus. Mereka terbiasa melihat fenomena-fenomena, tanpa pernah paham bagaimana mendefinisikannya.
Coba lihat saja bangsa kita yang tercinta ini. Langkah-langkahnya kebanyakan reaktif. Kebijakan yang diambil hanya untuk menyelesaikan permasalahan di permukaan. Karena kita dibesarkan untuk menguasai ‘apa’ bukan ‘bagaimana’. Harus diakui, sekolah-sekolah hanya membelajarkan konten, materi. Tujuannya supaya hasil ulangan atau ujian bagus. Mungkin ini tidak salah, sekali lgai mungkin. Hasilnya? Seperti yang kita saksikan dan alami sendiri.
Sebagai sebuah tempat pembelajaran, seharusnya sekolah berfungsi untuk mencetak anak bangsa yang mampu belajar sepanjang hidupnya. Bukan menghafal. Kegiatan di sekolah adalah usaha serius agar anak menguasai cara belajar (how, bagaimana), bukan semata belajar apa (what). Bahkan belajar bagaimana cara belajar jauh lebih penting daripada belajar tentang apa. Bagaimana mau menjadi manusia pembelajar kalau tidak punya keterampilan belajar?
Kemampuan belajar adalah sebuah lifeskill yang paling penting. Kemampuan belajar bukanlah tingkat penguasaan fakta yang dijejalkan guru ataupun buku pelajaran. Kemampuan belajar merupakan keterampilan seseorang untuk memberdayakan dirinya sehingga stimulus yang dia dapatkan dari lingkungan bisa membuatnya bergerak, dan secara efektif membangun pemahaman dan kesadaran diri.
Dari sekian jam di sekolah, berapa menit kita mengajarkan kemampuan belajar pada diri anak-anak kita? Tidakkah kita merasa bersalah menghabiskan waktu mereka dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan? Atau sesuatu yang belum saatnya mereka terima?
Sayangnya, yang ada di sekolah adalah belajar, bukan pembelajaran. Yang namanya belajar itu ya menghafal. Kalau bisa menjawab soal dengan benar, ya sudah selesai. Dapat nilai bagus dan berhak untuk mendapat sebutan anak yang hebat, berprestasi. Orangtua bangga, guru dipuji.
Akan berbeda kalau suasana di sekolah adalah suasana pembelajaran. Semua yang ada di sekolah akan diberdayakan untuk mendukung pembelajaran. Sistem dan suasana sepertinya menjadi kata kunci di sekolah yang mengusung pembelajaran. Akan indah sekali kalau seorang guru tidak memberikan materi. Guru menunjukkan materi yang akan dipelajari. Anak berusaha mendapatkan manfaat dari materi yang mereka cari, untuk kemudian dengan kesadaran penuh berlomba mendapatkan pemahaman. Bukan dari guru, tapi mencari sendiri. Inilah kemampuan untuk belajar. Ada semangat, motivasi, gairah, dan tujuan yang lebih visioner. Bukan sekedar bagaimana cara menjawab soal ujian, tapi bagaimana menjawab persoalan kehidupan yang akan mereka hadapi kelak.
Sekali lagi, berapa waktu yang kita pakai untuk menyiapkan mereka supaya bisa menjawab tantangan jamannya? Kalau kita masih yakin bahwa dengan bisa menjawab soal ujian anak-anak akan bisa masuk ke sekolah unggulan. Kalau bisa masuk ke sekolah unggulan kelak mereka akan sukses juga. Siapa bisa jamin?
Bila keterampilan belajar sudah dikuasai, mau belajar apapun pasti lebih bermakna. Anak paham mengapa materi itu perlu dipelajari, kenapa penting. Jawabannya tentu saja bukan karena akan ditanyakan dalam ulangan atau ujian, tetapi apa manfaat yang bisa dipetik. Kalau hal ini terus menggelinding, akan menjadi suatu perubahan penting dalam budaya bangsa. Sesuatu dilakukan karena dipahami manfaatnya dan tahu cara melakukannya. Bukan sekedar mengikuti hal-hal populer.
Sudah saatnya, menurut saya, sekolah berani untuk keluar dari lingkaran setan praktek pembelajaran yang tidak membelajarkan. Diperlukan keberanian besar dari banyak pihak untuk memulainya.
Kura-kura tidak akan pernah maju kalau dia tidak berani mengambil resiko dengan menjulurkan kepalanya keluar dari tempurung. Ayo, keluarkan kepala kita dan bergerak maju menuju perubahan

Menghadapi anak

“Anak-anak, jangan mengobrol lagi dan melakukan yang lain. Kalian sudah tahu kan, pelajaran ini semakin lama semakin sulit. Isinya sangat membingungkan. Untuk bisa menguasainya kalian akan harus bersusah payah. Sekarang, Ibu ingin kalian mengeluarkan PR, lalu kumpulkan.” (setelah melihat PR sebentar).
“Ibu lihat kalian masih belum bisa mengerjakan dengan benar. Sepertinya Ibu harus mengajarkan lagi bagian ini. Hari ini kalian boleh pilih: kita bisa terus bersusah payah mempelajarinya dengan penjelasan dari Ibu, atau kalian memahaminya sendiri dengan membaca buku. Kalian harus ingat, banyak yang tidak berhasil menguasainya karena memang benar-benar sulit.”
Banding dengan yang ini: “Selamat pagi, anak-anak. Silakan duduk dan pusatkan perhatian kalian. Kita akan memasuki bagian yang sangat menantang. Ibu yakin kalian akan mampu menguasainya dengan baik. Anak-anak seperti kalian pasti akan berhasil, terutama yang mau aktif dan bertanya.” (diam sebentar).
“Mari kita mulai dengan tantangan yang kalian selesaikan di rumah.” (setelah melihat PR). “Sepertinya kita perlu mengulang konsep kemarin dengan cepat. Ibu benar apa tidak?”
Semoga Anda melihat perbedaan besar antara kedua contoh di atas. Apa yang Anda ucapkan bisa mendukung tujuan Anda, bisa pula sebaliknya. Maka berhati-hatilah memilih kata dalam berkomunikasi dan munculkan kesan. Cobalah eksperimen ini: Jangan bayangkan Anda sedang naik roller coaster. Jangan bayangkan Anda berpegangan kuat ketika roller coaster mulai berjalan. Jangan pula membayangkan Anda berteriak ketika roller coaster menukik tajam setelah menyelesaikan tanjakan, dsb.
Apa yang terjadi? Untuk tidak membayangkan roller coaster otak Anda terlebih dahulu membuat pencitraan roller coaster. Anda sudah membayangkannya sebelum tidak membayangkan. Artinya, selama di kelas Anda perlu menjaga agar citra yang timbul adalah positif.
“Anak-anak, bagian bab ini paling sulit dan membosankan, jadi kalian harus waspada kalau tidak mau gagal.” Kesan apa yang diciptakan? Kesulitan, kebosanan, bahaya, kegagalan. Perhatikan perbedaan kesan jika Anda mengatakan,“Bagian ini paling menantang. Simaklah baik-baik, supaya kalian memahaminya.”
Pilihlah secara sadar perkataan yang menimbulkan asosiasi positif, paculah pembelajaran, dan tingkatkanlah komunikasi.

Arahkan Fokus
Diperkirakan bahwa otak kita menerima lebih dari 10.000 pecahan informasi setiap detik kita terjaga. Wah! Bagaimana kita menangani semua masukan itu?
Yuk kita bereksperimen lagi. Perhatikan lay out halaman ini. Perhatikan font, formasi teks, dan bagaimana mata Anda memperhatikan informasi penting. Sekarang perhatikan ruangan tempat Anda berada. Apa yang terjadi? Saat Anda membaca kata-kata ini, Anda fokus pada lay out, font, dan sebagainya secara sadar. Tetapi begitu perhatian Anda ditarik ke ruangan tempat Anda berada, Anda memusatkan pada barang-barang, cat, hiasan, dan sebagainya. Dalam sekejap segala detail tentang halaman ini menjadi terlupakan.
Arahkan fokus saat memberikan instruksi atau petunjuk. Tanyalah pada diri sendiri, “Di mana saya ingin akan memusatkan perhatian mereka?” Lalu pilih kata-kata yang mengarahkan fokus.
“Jangan mendekati rak sepatu saat kalian berpindah tempat,” justru akan menarik perhatian ke rak sepatu. Alih-alih, arahkan fokus dengan:
“Cari tempat berkumpul kelompok kalian. Pindahlah langsung ke tempat itu, dan bawa buku kalian.”
Anda mengurangi kemungkinan anak tertarik pada hal lain, disamping mengarahkan fokus secara jelas. Kata-kata Anda, sengaja atau tidak, membuka asosiasi. Pilihlah asosiasi yang paling mendukung belajar.
“Bapak ingin kalian mengeluarkan buku kalian.” “Yang harus kalian lakukan adalah mengeluarkan tugas yang kemarin.” “Ibu minta kalian mengeluarkan bahan-bahan untuk eksperimen ini.” Kalimat-kalimat serupa ini ratusan kali terdengar di kelas. Pernyataan itu dengan jelas menyampaikan perilaku yang diharapkan guru, tetapi apa lagi yang tersampaikan?
Kalau kata-kata menimbulkan asosiasi, asosiasi apa yang ditimbulkan? “Bapak ingin,” “Kalian harus,” dan “Ibu minta,” adalah dinamika saya- lawan- kalian. “Saya yang pegang kendali dan kalian harus melakukan apa yang saya perintahkan.”
Nah, bagaimana sikap anak menanggapi hal ini? Mungkinkah akan memberontak atau membangkang? Asosiasi ini, pada tingkat tidak sadar, mempunyai efek mendalam dalam belajar dan perilaku.
Perubahan sederhana dalam kata-kata dapat meningkatkan hubungan kerjasama menyeluruh. “Mari kita keluarkan buku.” “ Sudah waktunya mengeluarkan bahan-bahan kita,” terasa lebih enak bukan?
Gunakanlah bahasa yang mengajak semua orang. “Mari kita,” dan “Kita’” menciptakan kesan keterpaduan dan kesatuan. Boleh dibilanmg, perkataan seperti ini berarti, “Kita berjuang bersama-sama.” Ingat:semuanya berbicara, selalu!

Spesifik
Anda ingin anak-anak bersiap untuk istirahat. Kemudian Anda berkata, “Anak-anak, bersiaplah untuk istirahat.” Apa yang mungkin terjadi? Anak-anak langsung bubar dengan inisiatif sendiri. Yah, memang mereka bersiap untuk istirahat, tetapi tidak seperti yang Anda maksudkan. Mereka salah mengartikan petunjuk karena Anda tidak spesifik.
Seringnya salah komunikasi terjadi akibat generalisasi. Seolah-olah orang lain langsung tahu apa yang kita maksud. Semakin spesifik permintaan, semakin besar orang akan melakukan sesuai dengan yang diinginkan.
Kadang-kadang Anda merasa perlu berkata lebih banyak agar komunikasi menjadi jelas. “Selanjutnya Bapak ingin kalian mengeluarkan buku dan mencari tabel pada halaman 45,” cukup dinyatakan dengan, “Kita akan memperhatikan tabel di halaman 45. Keluarkan buku kalian.”
Berbicara terlalu banyak, menjelaskan konsep secara berlebihan, mengulang petunjuk, dan memperpanjang jawaban bisa memperlemah dampak dari apa yang dikatakan. Tapi kenapa sering dilakukan? Biasanya karena bingung harus mengatakan apa.
Tentu saja ada cara menghindari jebakan ini. Awalilah dengan kata kerja: Ambillah, tulislah,katakan, dan sebagainya. Bukan hanya langsung tepat sasaran, tetapi anda juga akan mampu menggerakkan anak. Anda juga dapat menguatkannya dengan menggunakan aba-aba. “Kalau Ibu bilang ‘mulai’, pindahlah ke kelompok kalian, lalu duduklah. Mulai!”
Susun pikiran Anda sejenak sebelum berbicara. Mungkin rasanya lama sekali Anda berdiri di depan kelas, padahal bagi anak hanya sebentar saja. Santai saja. Katakan apa yang perlu dikatakan.

Hak Untuk Mengajar

Guru bukanlah penguasa di kelas. Tapi betapa banyak guru yang menempatkan diri sebagai penguasa kelas. Kita lihat, banyak sekali kata-kata yang bersifat instruksional dan dogmatis beterbangan di ruang-ruang kelas. Perhatikan lagi bagaimana bahasa tubuh guru yang memberi tekanan bahwa ia harus diikuti. Guru pun duduk manis di singgasananya.
Suasana demikian menjadikan belajar adalah proses searah, dari guru ke murid, sehingga pembelajaran pun berpusat pada guru. Selanjutnya, anak hanya bersifat pasif. Menerima dan menunggu. Tidak ada kegairahan, karena belajar bersifat terpaksa, bukan berangkat dari kebutuhan dan kesadaran. Padahal belajar bukan hanya aktifitas fisik, tetapi juga aktifitas mental. Belajar adalah kegiatan full contact. Emosi dan perasaan tidak bisa dilepaskan dari proses belajar.
Pemahaman demikian akhirnya membawa kesadaran bahwa dengan berbekal surat tugas atau surat keputusan, seorang guru tidak serta merta mempunyai hak untuk mengajar. Surat tugas maupun surat keputusan merupakan wewenang, bukan hak untuk mengajar. Mengapa demikian?
Anaklah yang memberi hak untuk mengajar, sebab anak adalah subjek pembelajaran. Aktifitas belajar dibangun berdasarkan minat dan kebutuhan anak. Dengan demikian anaklah yang memikul tanggung jawab untuk belajar, bukan guru. Ini berarti anak jugalah yang menentukan bagaimana cara belajar dan siapa yang membantunya belajar.
Paradigma seperti ini membangun kesetaraan antara guru dan murid dalam proses pembelajaran, yang pada akhirnya membuat anak bersemangat dan berkembang harga dirinya. Dengan demikian cara berpikir yang dipakai adalah berusaha mendapatkan ijin dari anak untuk mengajar. Ini tentu saja jangan dibayangkan ada suratnya seperti halnya surat tugas atau surat keputusan.
Ijin mengajar dari anak berarti bahwa seorang guru diterima untuk mengarahkan mereka menuju penguasaan kompetensi. Penerimaan anak terlihat dari tingkat dan kualitas keikutsertaan anak dalam proses pembelajaran.
Lalu bagaimana untuk mendapatkan ijin mengajar? Pertama, binalah jalinan yang erat dengan anak-anak. Kedekatan dengan anak memudahkan seorang guru untuk memasuki dunia mereka, serta mengajak mereka bertualang dalam dunia yang ada disekitarnya, yang pada hakekatnya adalah sumber belajar yang sangat kaya.
Kedekatan juga bisa mengurangi ketegangan anak, sehingga ia bisa merasa lebih aman dan nyaman. Banyak hasil penilitian yang menyebutkan suasana aman dan nyaman sangat berpengaruh terhadap hasil belajar secara keseluruhan. Dalam suasana yang demikianlah, tekanan bisa berkurang dan sel-sel saraf otak membuka diri sehingga mudah mengakses informasi-informasi yang bertebaran.
Yang kedua, seorang guru harus mampu ‘membaca’ murid-muridnya. Guru mutlak mengetahui apa yang dirasakan, dipikirkan, atau diinginkan anak. Disini dituntut kemampuan observasi dan kejelian dalam melihat perubahan yang dialami anak. Roman muka, posisi badan, gambar atau tulisan anak mencerminkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diinginkan anak.
Setelah mengetahui isi dalam benak anak, guru membuat stimulus agar anak bisa mengekspresikannya secara sehat dan positif. Misalnya ada anak yang terlihat murung, bukan dibiarkan saja, tetapi didekati, dibuat nyaman sampai akhirnya bisa mengungkapkan apa yang dirasakan.
Ketiga, bersikaplah tulus. Mengajar adalah melayani. Melayani anak dalam perjalanan menuju kedewasaan berpikir dan bertindak. Ketulusan dalam mengajar akan mewarnai tindakan dan sikap kita. Masalah yang muncul dalam proses pembelajaran tidak disikapi dengan mengeluh dan rasa jengkel atau marah.
Guru hendaknya menyikapi dengan baik setiap pertanyaan dan keinginan anak, memberikan umpan balik yang memberdayakan, serta tidak berpandangan bahwa pembelajaran hanya berlangsung di kelas saja. Waktu kapanpun dengan anak adalah pembelajaran.

Habis Gelap Terbitlah Terang(?)

Mungkin R.A. Kartini akan menangis jika melihat bangsa Indonesia saat ini. Tentu saja beliau tidak akan menangisi pemilu legislatif dan semua kejadian yang mengikutinya. Tidak juga bencana alam dan kecelakaan yang datang silih berganti. Beliau akan menangis karena sampai sekarang belum juga terbit terang seperti yang diharapkan. Hanya gelap yang tiada habis-habisnya.
Perjuangan Kartini untuk memajukan bangsanya terjawab oleh kondisi dunia pendidikan yang masih bergelut dengan gelap yang menyertainya. Gelap, sebab tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia yang seutuhnya, terpotong jalannya. Terpotong oleh praktik pendidikan yang menghasilkan manusia yang tidak utuh.
Disebut tidak utuh karena dunia pendidikan hanya peduli pada satu atau beberapa aspek saja. Lebih tegas lagi, hanya nilai-nilai akademislah yang menjadi ukuran keberhasilan. Keberhasilan sekolah dan juga keberhasilan murid. Wajar jika kemudian nilai akademis begitu diagung-agungkan, seolah-olah jaminan masa depan yang cerah. Kalau nilai akademis tidak bagus, hancurlah segala-galanya.
Maka berlomba-lombalah mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Celakanya, banyak yang terjebak, mungkin lupa, bahwa nilai akademis tidak akan bernilai apa-apa jika aspek lain yang ada dalam diri anak tidak dikembangkan. Nilai yang tinggi tidak mampu menolong seseorang menjawab tantangan jamannya, tidak bisa membantu seseorang memecahkan masalahnya.
Tapi karena masih dalam situasi gelap, maka tidak terlihat apa yang sebenarnya terjadi. Maka terjadilah akumulasi kesalahan memahami, yang kemudian membentuk sebuah opini kuat dan menyebar luas. Yang namanya sekolah ya hanya bertugas membuat anak bagus dalam akademis. Yang penting anak pinter.
Membuat anak jadi pintar tentu saja bukan tujuan yang salah, bahkan bagus. Tapi tidak cukup itu. Tujuan akhir dari belajar adalah perubahan tingkah laku. Jadi setelah anak tahu, paham, mengerti, proses belajar tidak berhenti. Harus ada usaha yang terprogram dan terkontrol hingga pengetahuan anak mampu membawa perubahan sikap dan tingkah laku, tentu saja menjadi lebih baik.
Saat menyusun rencana pembelajaran, seorang guru hendaknya sudah mempunyai tujuan nilai apa yang harus dicapai muridnya ketika materi sudah dipelajari. Nilai-nilai itu tentu saja yang relevan dengan materi terkait.
Apa pentingnya memberikan atribut nilai dalam pembelajaran? Materi dalam kurikulum kebanyakan berupa pengetahuan saja. Pengetahuan memang bisa menjadikan seseorang pandai, tapi belum tentu bisa menjadikan seseorang bermoral baik. Seseorang yang banyak pengetahuan tetapi bermoral buruk tentu saja sangat berbahaya.
Moral yang baik dapat dikembangkan dengan menanamkan nilai-nilai dalam pembelajaran. Harus diakui saat ini sekolah terlalu fokus pada penguasaan materi pembelajaran secara dangkal. Dangkal dalam arti hanya berupa hafalan-hafalan semata. Pembelajaran yang demikian menghasilkan manusia yang mekanis. Pemikiran mekanis selalu memandang sesuatu dengan dua kemungkinan dan jawaban saja, ya atau tidak. Pemikiran seperti ini kemudian menjadikan seseorang tidak fleksibel, kurang mampu menerima perbedaan, dan cenderung tidak peduli pada orang lain dan lingkungan, termasuk tata krama, norma, maupun hukum yang berlaku.
Selain itu, seyogyanya sekolah juga mengembangkan kemampuan-kemampuan yang lain. Kemampuan itu antara lain kemampuan bekerjasama, komunikasi, perencanaan, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Kemampuan-kemampuan tersebut akan dapat berkembang bila anak mempunyai percaya diri, inisiatif, kreatifitas, dan rasa ingin tahu yang besar.
Nah, dengan demikian belajar akan bermakna dan memberdayakan anak bila didalamnya secara sengaja direncanakan anak mendapatkan pengalaman yang baru dan mengasah kemampuan-kemampuan dasar.
Tampaknya kita perlu mengubah cara pikir dan cara pandang tentang belajar. Belajar bukanlah sekedar penguasaaan materi, tetapi bagaimana memberdayakan potensi dan mengembangkan diri. Materi sebagai sesuatu yang harus dikuasai tidak ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dalam belajar. Materi merupakan sarana saja, bukan sebagai tujuan akhir.

Guru yang Baik Memberi Sugesti, Bukan Dogma, dan Memberi Inspirasi Kepada Anak Didiknya Agar Bisa Mengajari Diri Sendiri

Salah satu harapan orangtua menyekolahkan anaknya adalah kelak anaknya akan mandiri. Ya, walaupun dalam kenyataannya kita sering menemukan apa yang dilakukan orangtua bertentangan dengan harapannya tadi. Tapi kita tidak sedang akan membahas hal tersebut. Kenapa sugesti, bukan dogma? Pentingkah sugesti?
Belajar adalah usaha untuk mengembangkan diri. Usaha untuk mengembangkan diri, bukan orang lain. Tentu saja pernyataan ini mengandung arti bahwa belajar adalah kegiatan individual, dilakukan oleh dan untuk diri sendiri, walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama.
Nah, tugas guru adalah membantu anak supaya bisa belajar, bukan mengajarinya. Hmm, sepertinya ini bertentangan dengan paradigma yang sudah mengakar kuat, guru adalah orang yang pekerjaannya mengajari orang lain.
Bagaimana supaya anak bisa belajar? Memang cukup rumit mengurai benang kusut sistem pembelajaran pasif. Pasif, karena belajar itu dipandang sebagai menerima. Menerima ilmu, menerima materi, menerima rumus, dan menerima yang lainnya. Jadilah proses belajar sebagai aktifitas menampung dogma. Bahkan yang demikian ini tidak bisa disebut belajar. Tidak ada pengembangan diri.
Supaya bisa belajar, anak harus punya kesempatan. Orang disekelilingnya yang menyediakan kesempatan itu. Orangtua dan guru memberi ruang aktivitas yang luas, dan tidak merampoknya dengan sebuah kata, mengajari.
Setelah punya ruang, anak perlu merasa aman dan nyaman. Lagi-lagi orangtua dan guru yang memberi rasa aman dan nyaman. Jangan sampai orangtua dan guru mengikis perasaan ini. Anak akan merasa aman kalau aktivitasnya sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuannya, jelas apa yang dilakukan dan tujuan yang ingin dicapai.
Selanjutnya, untuk bisa belajar anak perlu merasa bisa. Ini sebuah syarat mutlak. Keyakinan bahwa dirinya mampu merupakan bahan bakar yang mampu menghidupkan motivasi dan semangat, juga mengaktifkan neuron-neuron otak. Disinilah sebuah sugesti diperlukan. Guru hendaknya selalu mempompakan keyakinan ini. Tidak hanya lewat kata-kata, tapi juga tindakan dan ekspresi. Misalnya, selalu menunjukkan wajah optimis dan bergairah kepada setiap anak. Tidak ada perbedaan ekspresi ketika berhadapan dengan seorang anak dan anak yang lain.
Saat mendapat sugesti, anak akan merasa dirinya berharga, mampu, dan mendapat dukungan. Hal ini membuatnya lebih mudah melangkah kerja, sebab mendapat kekuatan luar biasa dari dalam diri, yang kemudian membentuk niat yang kuat. Niat yang kuat akan mendapat dukungan dari lingkungan. Semesta mendukung, kata Yohanes Surya.

Berpusat Pada Anak

Belajar adalah proses menjadikan anak menjadi tahu, mengerti, memahami dan menginternalisasi pengetahuan. Dalam hal ini tentu saja anak merupakan subjek sekaligus pusat kegiatan belajar.
Sebagai pusat pembelajaran, kebutuhan anak harus terpenuhi. Anak perlu merasa aman, nyaman, berharga, dicintai, dan dipahami. Ini adalah kebutuhan primer, tidak bisa dihilangkan. Perasaan aman, nyaman, berharga, dicintai, dan dipahami akan mendorong munculnya motivasi dan kesadaran anak untuk belajar.
Setelah tumbuh motivasi belajarnya, anak perlu hal yang menyenangkan dalam belajar. Apa yang dekat dan dikenal baik oleh anak merupakan hal yang menyenangkan bagi anak. Oleh sebab itu, pembelajaran dikejar ke arah yang kontekstual. Sesuatu yang akan mudah dipahami anak karena anak sudah mendapatkan pengalamaan dalam bentuk lain yang berhubungan dengan materi yang dibelajarkan.
Apakah ini berarti pembelajaran sudah berpusat pada anak? Belum! Berpusat pada anak berarti pembelajaran dan semua yang menyertainya disesuaikan dengan kebutuhan, gaya dan cara belajar, kemampuan, serta kondisi mental, psikologis, dan sosial anak. Artinya guru perlu mengenali benar anak didiknya. Mengetahui hobi, makanan kesukaan dan “hal-hal kecil” lainnya mutlak diperlukan.
Selanjutnya guru mempersiapkan skenario pembelajaran dimana setiap anak mempunyai kesempatan berkembang secara optimal dengan semua latar belakang yang dimilikinya. Derajat keberagaman metode dan pendekatan pembelajaran berbanding lurus dengan tingkat kemajemukan yang ada dalam kelas.
Prinsip pembelajaran yang berpusat pada anak lainnya adalah menjadikan anak sebagai subjek pembelajaran. Sebagai subjek, anaklah yang aktif membangun pengetahuannya. Jika ternyata guru masih dominan dalam proses pembelajaran, maka ia sudah mengambil hak anak untuk memberdayakan dirinya.
Makna lainnya adalah apa yang dibelajarkan berangkat dari kebutuhan anak, cara mengajarkannya sesuai dengan kondisi anak, dan pendekatan yang dipakai berdasarkan dunia anak.
Kebutuhan tiap anak sangat beragam. Dari segi kemampuan, ada yang perlu pengayaan, ada juga yang perlu pengulangan. Perlakuan pun berbeda. Memotivasi tidak akan sama caranya bagi setiap anak. Termasuk didalamnya cara berkomunikasi, menyelesaikan masalah, dan cara melakukan pendekatan.
Pembelajaran yang berpusat pada anak membuat anak memahami pentingnya materi yang dipelajari. Membantu mereka mengidentifikasi manfaatnya bagi diri sendiri untuk kemudian dipancarkan bagi kemanfaatan manusia.
Hal ini mensyaratkan adanya proses pemaknaan materi, bukan sekedar menguasainya saja. Pemaknaan akan terjadi bila anak mengetahui manfaat bagi dirinya. Disinilah muncul keragaman. Anak bisa mengidentifikasi manfaat yang berbeda dari temannya. Nah, saat itulah guru mempunyai peran menguatkannya sehingga anak memperoleh pelecut semangat sekaligus melakukan aktivitas belajar dengan kesadaran diri.
Sedangkan dari sisi materi, pembelajaran yang berpusat pada anak memilih materi yang dekat dengan anak. Materi selalu dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang pernah dirasakan. Materi yang bersifat abstrak sebisa mungkin dibawa dalam bentuk yang konkret.
Pembelajaran yang berpusat pada anak mensyaratkan keterlibatan anak. Pembelajaran diorientasikan pada pengalaman secara langsung, hingga pada akhirnya anak bisa menemukan hubungan antara materi dengan situasi kehidupan nyata. Tidak hanya berhenti di pemahaman, dalam pembelajaran yang berpusat pada anak seorang anak mendapatkan bimbingan agar mampu mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan.

Belajar adalah Mengalir, Dinamis, Penuh Risiko, Menggairahkan

Kalimat ini sangat saya gemari. Saya mendapatkan kekuatan setiap kali saya membaca atau mengucapkannya. Kekuatan magis yang mampu memberi energi untuk selalu semangat pergi ke sekolah.
Saya selalu membayangkan bahwa belajar itu tidak kaku. Mengajar tidaklah seperti melaksanakan peraturan atau undang-undang, juga bukan sebuah rencana mutlak, sangat tergantung pada situasi yang dihadapi. Bisa jadi rencana tinggal rencana. Ya nggak apa-apa.
Lalu, apakah kita tak perlu mempersiapkan rencana pembelajaran? Tidak juga. Rencana pembelajaran harus dibuat, meski bukan berarti harus ditulis dalam format-format tertentu.
Menurut saya, tugas seorang guru yang lebih penting adalah membuat rencana pembelajaran yang asyik, yang membuat anak ketagihan. Ini tentu saja memerlukan energi dan waktu yang cukup untuk mempersiapkannya.
Rencana yang dibuat bukanlah tak boleh berubah. Belajar tak hanya aktivitas fisik, juga terlibat mental di dalamnya. Emosi sangat berpengaruh dalam belajar. Oleh karena itu seorang guru harus mempunyai kejelian dalam melihat keadaan emosi murid-muridnya. Apa yang sedang mereka rasakan, apa bahan pembicaraan mereka, permainan yang sedang digemari, dan hal lainnya.
Maka ketika rencana yang kita buat tak selaras dengan keadaan anak, saat itu juga harus diubah. Diubah bisa berarti diganti secara ekstrem, bisa juga diadaptasi, tergantung situasi.
Dengan demikian, seorang Guru harus bersiap diri akan segala kemungkinan. Boleh jadi, yang semula direncanakan membuat anak merasa asyik, malahan nggak rame atau bahkan ditolak siswa. Dalam hal seperti ini tidak pada tempatnya Guru memaksakan siswa mengikuti apa yang sudah direncanakan. Kalau anak ajukan keberatan atau usul, jangan langsung dipatahkan. Justru keberanian menyampaikan perasaan dan menawarkan solusi seperti ini harus dikembangkan.
Atau ternyata guru mendeteksi sebuah kegiatan mengasyikkan yang dilakukan anak-anak saat istirahat, maka bisa saja rencana pembelajaran saat itu juga berubah. Secara materi tidak ada yang berubah, namun setting kegiatan yang disesuaikan. Dalam arti yang lebih luas dapat dikatakan bahwa semua aktivitas adalah belajar. Belajar tidak dibatasi ruang dan waktu. Ini barangkali yang dimaksud dengan mengalir.
Air akan mengalir baik kalau ada saluran. Saluran belajar terbuka saat anak ’memberi ijin’ Guru mengajar. Maka dapatkanlah ijin itu -- kalau tidak apa yang kita ajarkan akan meluap ke luar saluran.
Air akan mengalir lancar kalau sedikit penghalangnya -- maka buanglah sebanyak mungkin apapun yang menghalangi proses belajar. Rasa takut, malu, cemas, dan perasaan negatif lainnya jangan ada dalam belajar. Tugas Guru meminimalkan penghalang, kalau mungkin menghilangkannya.
Mengalir juga berarti cair. Cair dalam hubungan antara individu, cair dalam materi. Maksudnya, materi bisa berkembang atau dipelajari lebih dalam. Ini tentu saja memerlukan fleksibilitas. Berarti belajar tidak selalu ceramah atau mengerjakan latihan. Belajar tidak harus di kelas. Belajar bukan hanya membaca atau menulis. Belajar itu banyak kegiatannya. Dan karenanya, belajar selalu berkembang.
Belajar merupakan sebuah usaha. Usaha membangun pengetahuan. Namanya juga usaha, kadang sukses kadang harus mengulang. Artinya, ada resiko gagal. Kegagalan yang dimaksud bukan hasil akhirnya gagal, tapi gagal dalam prosesnya sehingga perlu pengulangan.
Mempelajari sesuatu yang baru kadang menimbulkan ketegangan. Anak ragu, atau bahkan takut memasuki sesuatu yang baru. Perlu usaha agar ketegangan anak tak berlangsung lama. Saat mempelajari sesuatu yang baru upayakan anak merasa aman dan nyaman, tidak takut 'diketawai' atau dimarahi. Tidak takut mencoba, dan terus mencoba. Punya kegigihan, tidak kenal putus asa. TG

Suhud Rois
Sekolah Interaktif Gemilang Mutafannin,
Kab. Bandung Barat, Jabar

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Belajar Itu Bisa Menyenangkan

Anak-anak duduk diam dalam deretan meja yang tidak pernah berganti susunannya dari tahun ke tahun, dari pagi sampai siang. Inilah pemandangan umum kelas-kelas sekolah di Indonesia. Ini baru pemandangan sepintas. Kalau lebih diperhatikan, akan tampak wajah-wajah tegang menanti berbunyinya bel tanda pulang, dan...bebas!
Mengapa demikian? Karena mereka sedang belajar. Belajar itu tidak boleh main-main. Harus serius. Materi yang dipelajari begitu banyak. Yang harus dihafalkan tentu saja tak kalah banyak. Kalau main-main pasti ketinggalan.
Memang benar, yang namanya belajar itu harus serius. Tapi serius bukan berarti kaku, penuh larangan dan peraturan. Apalagi dalam belajar. Belajar merupakan kegiatan yang menggunakan banyak aspek. Ada emosi yang bermain disana. Emosi positif terbukti mendukung efektivitas belajar. Rasa takut, cemas, dan ketegangan tidak bisa memaksimalkan potensi otak.
Bagaimana belajar bisa menyenangkan? Sebagai orang yang berinteraksi dengan anak, guru harus bisa melepaskan semua ketegangan anak. Tidak perlu ragu untuk bercanda dan bermain-main dengan mereka. Ini sama sekali tidak menurunkan wibawa guru. Cobalah untuk lebih terbuka, dekat, dan akrab dengan mereka. Menanyakan kabar atau ngobrol tentang kegemaran bisa jadi salah satu caranya.
Selain itu, simpanlah dulu buku paket. Buat kegiatan belajar yang tidak biasa, bukan hanya ceramah, mengerjakan tugas atau membaca. Misalnya bermain drama atau game. Pada awalnya (mungkin) anak akan canggung atau ragu-ragu. Tidak apa-apa, karena nanti mereka akan minta lagi. Kegiatan belajar lain yang menantang juga harus dicoba.
Setting kelas juga diperhatikan. Kelas yang penuh hiasan bisa menambah gairah anak dalam belajar. Poster, tulisan, dan ikon penyemangat dapat dijadikan hiasan kelas.
Pengakuan, perayaan, dan penghargaan diperlukan untuk menjaga agar atmosfer belajar terjaga. Anak merasa dihargai dan berarti. Ini merupakan modal penting untuk belajar.
Lebih dari itu, susana bebas tekananlah yang mutlak ada jika ingin belajar yang menyenangkan. Anak senang belajar, bukankah itu harapan kita? Jadi yang tepat bukan belajar itu bisa benyenangkan, tapi belajar harus menyenangkan.

Lingkungan yang Kondusif Untuk Belajar

Lingkungan belajar tidak terbatas pada lingkungan fisik saja. Atmosfer yang dibangun juga merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh cukup besar terhadap suasana pembelajaran. Suasana kelas merupakan pencerminan gaya manajemen kelas yang diterapkan guru.
Gaya manejemen yang permisif membiarkan anak melalukan apapun yang diinginkan tanpa ada kontrol yang kuat, serta tidak ada dukungan untuk mengembangkan keterampilan belajar. Akibatnya anak secara akademis kurang menguasai dan mempunyai kontrol diri yang lemah.
Gaya manejemen kelas yang otoritarian menekankan pada ‘ketertiban’, suasana yang kaku dan jalinan komunikasi yang buruk. Relasi guru-murid seperti halnya penguasa-rakyat, atasan-bawahan. Dalam kelas seperti ini anak-anak tidak berkembang kemampuan berpikir kreatif karena selalu dibatasi. Cenderung pasif dan tidak percaya diri. Kemampuan berkomunikasi dan mengekspresikan diri juga kurang berkembang.
Gaya manajemen kelas yang lebih baik adalah gaya otoritatif. Dalam gaya ini, anak memperoleh kebebasan tetapi masih ada kontrol-kontrol yang sifatnya tidak membatasi. Guru membuat aturan ataupun prosedur berdasarkan masukan dari anak, serta memberi penjelasan logis kenapa aturan tersebut dibuat.
Suasana kelas dibuat nyaman, dimana anak terbebas dari perasaan tertekan, cemas, dan takut, sekaligus penuh dengan tantangan. Kenyamanan dibangun oleh adanya penerimaan dan perasaan dipahami oleh orang lain. Dalam hal ini, guru memberi teladan bagaimana menerima orang lain apa adanya serta menunjukkan empati dan simpati kepada orang lain.
Penerimaan dan empati melahirkan rasa percaya diri dan menumbuhkan kepercayaan pada orang lain. Selanjutnya, hal ini akan mengangkat harga diri sang anak sehingga bisa mengaktualisasikan kemampuan dengan lebih baik. Ini adalah modal yang sangat berharga bagi kemajuan pembelajaran dan perkembangan kepribadian.
Selain dari sikap yang ditunjukkan warga kelas (dan sekolah), lingkungan yang kondusif juga memerlukan aturan, prosedur, kebijakan, dan kesepakatan sebagai pagar yang melindungi dari kemungkinan terjadinya penyimpangan.
Ada perbedaan antara aturan, prosedur, kebijakan, dan kesepakatan. Kesepakatan merupakan usaha-usaha untuk mendukung pemeblajaran yang lancar. Misalnya mendengarkan ketika ada yang sedang berbicara. Kebijakan adalah tindakan yang diambil pada situasi tertentu, untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Misalnya adanya penambahan hari untuk mengerjakan proyek bagi anak yang tidak masuk karena sakit, sejumlah hari dia sakit.
Prosedur menekankan tindakan dan apa yang diharapkan dilakukan anak. Prosedur memberi pedoman langkah-langkah apa yang harus dilakukan anak untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Misalnya berdoa sebelum pelajaran dimulai. Prosedur menghasilkan kestabilan, kendali, dan struktur. Sedangkan peraturan dilengkapi dengan konsekunsi yang jelas jika terjadi pelanggaran. Konsekuensi tersebut merupakan konsekuensi logis yang masuk akal, tidak menyakiti fisik, serta tidak bermaksud untuk mempermalukan.
Fungsi aturan, prosedur, kebijakan, dan kesepakatan bukanlah untuk membatasi, tetapi memberikan kepastian dan struktur yang terarah. Anak akan merasa aman bila tahu dalam koridor yang mana boleh beraktivitas.
Supaya efektif, anak perlu tahu secara jelas apa peraturan, prosedur, kebijakan, dan kesepakatan yang berlaku. Akan lebih baik kalau anak dilibatkan dalam pembuatannya. Rasa tanggungjawab akan lebih besar jika anak terlibat.