Search

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 25 Januari 2011

Makna Belajar

Sudah terlalu lama kita terkecoh dengan definisi belajar. Ketika otak kita mengakses kata ‘belajar’, maka jaringan saraf akan mengirim impuls berupa kumpulan kosakata membaca, menghafal, mencatat, dan latihan soal.
Tidak ada yang salah dengan otak kita. Karena memang seperti itulah yang ia terima selama bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun. Atau mungkin pertanyaan awalnya adalah benarkah belajar itu adalah menghafal dan latihan soal?
Jawabannya tentu saja benar kalau kita melihat kenyataan di sekolah-sekolah kebanyakan. Ingat kan kita bahwa anak itu ibarat kertas yang masih kosong? Atau wadah yang harus diisi? Nah, guru dan orangtua yang membuat tulisan dan mengisi wadah yang kosong tadi. Semua terserah guru dan orangtua. Anak cukup mengulang apa yang pernah diberikan. Supaya bisa mengulang, tentu saja anak harus menghafalkan. Ini yang disebut belajar adalah menghafal dan latihan soal.
Perkembangan yang pesat dan tak terelakkan dalam bidang informasi memaksa adanya perubahan dalam banyak aspek. Termasuk dalam mendefinisikan belajar. Ternyata menghafal tidak bisa menjadikan anak mampu bertahan kelak. Dari sekian fakta yang dihafal, berapa persen yang digunakan dalam kehidupan? Dapatkah kita hidup hanya dengan menghafal? Apakah yang dibutuhkan dunia kerja adalah hafalan beribu-ribu fakta?
Menghafal memang tidak bisa dibuang begitu saja. Kita dikarunia otak dengan kemampuan memori yang begitu hebat. Ini tentu saja agar manusia bisa menyimpan berbagai fakta. Tapi sebatas hafalan, tidak akan banyak dipergunakan. Dalam pembelajaran, ini dapat diartikan bahwa fakta bukan dihafal, tapi ditemukan.
Menemukan fakta tidak sama dengan menerima fakta. Menemukan fakta berarti ada kegiatan membangun pengetahuan. Kenapa pengetahuan dibangun bukan ditransfer?
Coba kita bayangkan, membangun pengetahuan itu ibarat tunas yang mendapatkan air untuk pertumbuhannya.
Tunas berkembang dengan air yang didapatkannya. Sedangkan transfer pengetahuan dapat disamakan dengan menuangkan air ke dalam gelas. Air tidak bisa memberi perubahan pada gelas. Bila gelas penuh airpun tumpah, tak tertampung.
Aktivitas belajar hendaknya memberdayakan anak. Anak bukan hanya belajar tentang sebuah atau beberapa materi kurikulum, tetapi mendapatkan pengalaman belajar yang mengasah kemampuan dasar untuk belajar (learning how to learning) dan menghadapi kehidupan.
Kemampuan itu antara lain kemampuan bekerjasama, komunikasi, perencanaan, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Kemampuan-kemampuan tersebut akan dapat berkembang bila anak mempunyai percaya diri, inisiatif, kreatifitas, dan rasa ingin tahu yang besar.
Nah, dengan demikian belajar akan bermakna dan memberdayakan anak bila didalamnya secara sengaja direncanakan anak mendapatkan pengalaman yang baru dan mengasah kemampuan-kemampuan dasar.
Tampaknya kita perlu mengubah cara pikir dan cara pandang tentang belajar. Belajar bukanlah sekedar penguasaaan materi, tetapi bagaimana memberdayakan potensi dan mengembangkan diri. Materi sebagai sesuatu yang harus dikuasai tidak ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dalam belajar. Materi merupakan sarana saja, bukan sebagai tujuan akhir.
Pengembangan dan pemberdayaan diri tidak dapat dicapai dengan menghafal. Menghabiskan energi dan waktu dengan menghafal ibarat mendirikan bangunan tanpa pondasi yang menopangnya, rapuh dan mudah roboh. Atau seperti air yang melewati pipa. Berlalu begitu saja tanpa memberi dampak positif bagi pipa tersebut. Bahkan kadang membuat pipa jadi berlumut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar