Search

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 25 Januari 2011

“How” Dulu, Baru “What”

Apa jadinya kalau di sekolah kegiatan yang berlangsung adalah menghafal? Atau anak (murid) dianggap sebagai wadah yang harus diisi? Bagaimana kalau wadah itu suatu saat akan penuh? Mampukah kemampuan menghafal fakta akan merubah perilaku, menjadikan perilaku menjadi lebih baik? Mampukah seseorang menghadapi kenyataan persoalan kehidupan dengan hafalan dan penguasaan sejumlah fakta?
Mana yang kita pilih: anak menguasai dan menghafal sejumlah fakta untuk dapat menjawab soal-soal ujian, atau anak menguasai kemampuan untuk menjawab tantangan jamannya?
Pilihan itu yang akan menentukan bagaimana kita memandang proses pembelajaran anak-anak kita. Harus diakui sampai saat ini ukuran kesuksesan masih diukur dengan keberhasilan anak dalam ujian (nasional) yang sifatnya sementara. Bersifat sementara karena ujian merupakan kumpulan soal hafalan, yang dapat dipelajari sebentar dan kemudian setelah ujian dilupakan.
Untuk tingkat dasar, alangkah tersia-sianya waktu 6 tahun kalau anak hanya diarahkan untuk bisa menyelesaikan soal-soal ujian. Apa yang bisa dibawa anak dalam kehidupan?
Budaya instan tampaknya sudah lama menjangkiti dunia pendidikan. Efek bola salju dari hal ini sungguh menyesakkan dada. Orangtua berlomba dengan segala usaha agar anaknya tampil sempurna saat ujian. Berbondong-bondong mereka membawa anak-anaknya ke bimbingan belajar.
Sekolah tak kalah sibuk dengan makhluk yang bernama ujian. Keberhasilan dalam ujian merupakan nilai positif untuk meningkatkan popularitas dan favoritas sekolah. Maka semua daya dikerahkan agar murid-murid sukses dalam ujian. Jalan pintasnya adalah anak dijejali dengan fakta, rumus, dan hafalan. Bukan itu saja, kebocoran soal ujian sudah menjadi rahasia umum. Pengawas silang dari sekolah lainpun sudah tahu sama tahu. Sebuah koordinasi harmonis dan sangat rapi, sehingga dari tahun ke tahun berjalan begitu lancar.
Anak-anakpun tak kalah risaunya. Bukan salah mereka, saya kira. Tekanan yang begitu berat dari guru dan orangtua membuat mereka hanya bisa pasrah. Yang melakukan perlawanan akhirnya disebut tidak dapat diatur, diarahkan. Mereka frustasi dalam sistem yang demikian keruh. Anak-anak tak berdaya. Sudah demikianlah adanya apa yang mereka terima sejak tingkat awal masuk sekolah.
Terbentuklah kemudian generasi yang sangat hebat dalam hafalan dan penguasaan fakta. Kadang-kadang kemampuan mereka sungguh mencengangkan. Tapi hanya sebatas fakta. kering. Selanjutnya mereka bingung ketika berhadapan dengan masalah dalam kehidupan. Akibatnya selanjutnya tentu saja seperti yang terjadi sekarang. Generasi instan. Generasi yang gagap dan gugup menghadapi masa depan.
Anak-anak yang frustasi tak kalah merisaukan. Ada yang menjadi liar. Mereka mencari aktualisasi lewat jalur underground. Meraung dimana-mana secara sporadis. Berteriak tentang galau yang menyesakkan dada. Simbol-simbol perlawanan didewakan, diikuti sedemikian rupa sehingga kemudian menjadi pemujaan. Kata-kata dan pendapatnya menjadi dogma. Mereka berkelompok, mengasingkan diri dan menjadi eksklusif. Entah menjadi strata atau sistem sosial baru. Atau mungkin menjadi sesuatu yang belum terdefinisikan.
Sementara itu ada yang asyik menikmati rasa frustasinya sendiri. Mereka tertutup dari siapapun. Menjadi pemurung, atau mungkin perenung. Menjadi orang aneh bagi masyarakatnya. Mereka menikmati interaksi dengan dirinya secara begitu luar biasa. Menjadi makhluk yang hidup sendirian di dunia.
Sebagian dari kelompok ini kemudian menghuni rumah sakit jiwa, pusat rehabilitasi narkoba, dan penjara. Sebagian lagi mengakhiri kisahnya dengan leher terlilit tali, memutuskan nadi, atau menembak kepala sendiri.
Anak-anak itu tak terbiasa untuk memecahkan masalah. Mereka bergerak begitu saja mengikuti arus. Mereka terbiasa melihat fenomena-fenomena, tanpa pernah paham bagaimana mendefinisikannya.
Coba lihat saja bangsa kita yang tercinta ini. Langkah-langkahnya kebanyakan reaktif. Kebijakan yang diambil hanya untuk menyelesaikan permasalahan di permukaan. Karena kita dibesarkan untuk menguasai ‘apa’ bukan ‘bagaimana’. Harus diakui, sekolah-sekolah hanya membelajarkan konten, materi. Tujuannya supaya hasil ulangan atau ujian bagus. Mungkin ini tidak salah, sekali lgai mungkin. Hasilnya? Seperti yang kita saksikan dan alami sendiri.
Sebagai sebuah tempat pembelajaran, seharusnya sekolah berfungsi untuk mencetak anak bangsa yang mampu belajar sepanjang hidupnya. Bukan menghafal. Kegiatan di sekolah adalah usaha serius agar anak menguasai cara belajar (how, bagaimana), bukan semata belajar apa (what). Bahkan belajar bagaimana cara belajar jauh lebih penting daripada belajar tentang apa. Bagaimana mau menjadi manusia pembelajar kalau tidak punya keterampilan belajar?
Kemampuan belajar adalah sebuah lifeskill yang paling penting. Kemampuan belajar bukanlah tingkat penguasaan fakta yang dijejalkan guru ataupun buku pelajaran. Kemampuan belajar merupakan keterampilan seseorang untuk memberdayakan dirinya sehingga stimulus yang dia dapatkan dari lingkungan bisa membuatnya bergerak, dan secara efektif membangun pemahaman dan kesadaran diri.
Dari sekian jam di sekolah, berapa menit kita mengajarkan kemampuan belajar pada diri anak-anak kita? Tidakkah kita merasa bersalah menghabiskan waktu mereka dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan? Atau sesuatu yang belum saatnya mereka terima?
Sayangnya, yang ada di sekolah adalah belajar, bukan pembelajaran. Yang namanya belajar itu ya menghafal. Kalau bisa menjawab soal dengan benar, ya sudah selesai. Dapat nilai bagus dan berhak untuk mendapat sebutan anak yang hebat, berprestasi. Orangtua bangga, guru dipuji.
Akan berbeda kalau suasana di sekolah adalah suasana pembelajaran. Semua yang ada di sekolah akan diberdayakan untuk mendukung pembelajaran. Sistem dan suasana sepertinya menjadi kata kunci di sekolah yang mengusung pembelajaran. Akan indah sekali kalau seorang guru tidak memberikan materi. Guru menunjukkan materi yang akan dipelajari. Anak berusaha mendapatkan manfaat dari materi yang mereka cari, untuk kemudian dengan kesadaran penuh berlomba mendapatkan pemahaman. Bukan dari guru, tapi mencari sendiri. Inilah kemampuan untuk belajar. Ada semangat, motivasi, gairah, dan tujuan yang lebih visioner. Bukan sekedar bagaimana cara menjawab soal ujian, tapi bagaimana menjawab persoalan kehidupan yang akan mereka hadapi kelak.
Sekali lagi, berapa waktu yang kita pakai untuk menyiapkan mereka supaya bisa menjawab tantangan jamannya? Kalau kita masih yakin bahwa dengan bisa menjawab soal ujian anak-anak akan bisa masuk ke sekolah unggulan. Kalau bisa masuk ke sekolah unggulan kelak mereka akan sukses juga. Siapa bisa jamin?
Bila keterampilan belajar sudah dikuasai, mau belajar apapun pasti lebih bermakna. Anak paham mengapa materi itu perlu dipelajari, kenapa penting. Jawabannya tentu saja bukan karena akan ditanyakan dalam ulangan atau ujian, tetapi apa manfaat yang bisa dipetik. Kalau hal ini terus menggelinding, akan menjadi suatu perubahan penting dalam budaya bangsa. Sesuatu dilakukan karena dipahami manfaatnya dan tahu cara melakukannya. Bukan sekedar mengikuti hal-hal populer.
Sudah saatnya, menurut saya, sekolah berani untuk keluar dari lingkaran setan praktek pembelajaran yang tidak membelajarkan. Diperlukan keberanian besar dari banyak pihak untuk memulainya.
Kura-kura tidak akan pernah maju kalau dia tidak berani mengambil resiko dengan menjulurkan kepalanya keluar dari tempurung. Ayo, keluarkan kepala kita dan bergerak maju menuju perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar