Search

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 25 Januari 2011

Menjadi Model, Modalnya Apa?

Tiap hari selalu saja begini. Sepatu dan sandal berserak tak rapi. Ada yang masih sepasang, ada pula yang tinggal sendirian. Padahal kan rak sudah disediakan?
Ini bukan sekedar mereka, yang sepatunya berserakan itu, adalah anak-anak. Ini merupakan cermin dari budaya. Budaya tak peduli, budaya sak enak udhele dhewe. Kalau aku mau begini, emang kamu mau apa?!
Dalam skala lebih makro, budaya berserakan ini dapat kita jumpai dimana-mana. Semua serba bergerak tak teratur.Lihat saja di jalan raya. Ketidakteraturan sudah menjadi sesuatu yang teratur. Mengapa? Karena semua sistem di jalan raya, baik pengguna, aparat, dan perangkat, berjalan sesuai dengan keinginan sendiri. Berjalan mengikuti ego. Berjalan menatap lurus ke depan, tak peduli samping kini-kanan.
Lah, kalo sudah begitu yang terjadi tentu saja pelanggaran. Si pelanggar bisa saja kepergok sama penegak hukum. Hebatnya, entah si pelanggar yang cari teman agar tak atau penegak hukum yang begitu baik sehingga mau bersama-sama menjadi pelanggar. Benang kusut ini terus saja bergulir, menjadi bola yang semakin lama kian membesar dan terlalu capek untuk diurai. Dan ini kemudian menjadi sistem baru yang struktural. Pelanggaran menjadi biasa, bahkan legal. Nah, kalau sudah begini ketidakteraturan menjadi sesuatu yang teratur bukan?
Udah, ah. Terlalu panjang banget kalu dibahas terus. Kembali ke sepatu yang berserakan. Itu, tuh di SIGM. Ga adil banget deh kalo semata menyalahkan anak. Bukankah mereka itu peniru yang ulung? Mereka melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lihat. Siapa yang mereka lihat, tiru? Ya, kita-kita ini. Orang dewasa disekitar mereka.
Memang kita ini sangat hebat. Kita begitu menghargai waktu. Waktu adalah uang. Bahkan waktu adalah pedang! Ya, sehingga waktu sedetik pun begitu berharga. Bisa-bisa uang melayang, atau pedang akan mengakhiri hidup jika waktu terbuang. Jadi, buat apa cape-cape merapikan sepatu? Buang waktu saja, tidak efektif! Tidak bernilai ekonomis!
Tapi, bener gitu kita begitu menghargai waktu? Bukankah kita begitu fleksibel, sehingga soal waktupun bisa begitu elastis. Jam karet sudah jadi budaya. Institusi mana yang begitu peduli soal tepat waktu? Memang ada, tapi berapa banyak?
Lihat saat kinerja bangsa ini. Mana yang menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Memang semua menghabiskan waktu. Produktifkah? Jangan tanya dulu produktif apa ga. Waktu dilalui supaya jam kerja cepat habis, terus pulang. Begitu tiap hari, tiap bulan. Lalu gajian, begitu lagi sampai gajian berikutnya. Mau gapleh, ngobrol, main catur, ato makan siangnya di sebuah kafe di suatu mall, dengan belanja tentu saja, ngga pa-pa. Yang penting gaji tetap dibayar. Betul?
Nah, kalo gitu apakah namanya ini bukan musang berbulu domba, atau kita memang bermuka dua? Terlalu munafik kalo merapikan sepatu kita hubungkan dengan menghemat waktu. Berapa lama sih menyusun sepatu supaya rapi?
Dari sisi lain, kita ini sudah begitu terbiasa menghargai sesuatu yang berada di atas, kita begitu hormat. Sebaliknya, yang dibawah kita hampir, bahkan tidak peduli. Nah sepatu kan tempatnya dibawah. Yang namanya di bawah di negeri ini ga pernah dapat tempat. Selalu dipinggirkan dan terusir. Diinjak-injak dan ga perlu banget untuk dipedulikan. Lebih menyedihkan lagi selalu dianggap pengganggu keindahan.
Begitu juga sepatu-sepatu malang. Mereka ga dipedulikan. Dibiarkan berserakan. Dinjak-injak orang lain, selalu digusur, bahkan saling terpisah. Berserakan, kotor karena terinjak, sepatupun dianggap perusak keindahan. Betapa tak adilnya kita ini.
Jadi menurut saya sepatu yang berserakan itu bukan hal yang sepele. Ada pembelajaran yang begitu hebat. Yuk, kita bayangkan memperbaiki negeri ini dengan langkah awal memperlakukan sepatu secara lebih smooth dan smart. Bukan hanya masalah kerapihan dan keindahan. Ini bisa menjadi terapi bagi kita untuk peduli pada hal-hal kecil, masalah kecil, orang-orang kecil. Kita bisa belajar menghargai orang lain, membiasakan diri menjadi teratur. Menghilangkan budaya saling menggusur dan tak peduli.
Kembali ke sepatu yang berserakan di SIGM. Sebagai model yang selalu ditiru, kitalah yang mempelopori untuk menyusun sepatu. Disiplin tentu saja kunci suksesnya. Jangan berharap ada perbaikan kalo kita sendiri tidak berusaha untuk berubah. Jangan malah kita ikutan-ikutan naruh sepatu dimana saja, dengan alasan ya udah begitu, mau apalagi? Kalau memang seperti itu, benar sekali mau apalagi? Jangan pernah bermimpi memperbaiki negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar